Terkini di PLD:
Loading...
,

Ro’fah: Riset Difabel Harus Memiliki Keberpihakan yang Jelas



Riset adalah aksi politis. Seorang peneliti tidak datang dengan kepala kosong. Dalam kaitannya dengan penelitian disabilitas, peneliti harus memiliki posisi dan keberpihakan yang jelas terhadap penyandang difabel. Hal ini dipaparkan lebih lanjut oleh Ro’fah, Ph. D sebagai pembicara dalam diskusi bulanan Monthly Coffeebility. Diskusi bertajuk Disability Research: Doing It Right and For The Right Reasons itu kembali digelar secara daring pada Jumat, 26 Maret 2021.


“Keinginan untuk menghilangkan penindasan dan memfasilitasi pemberdayaan difabel, itulah standpoint yang harus kita miliki,” imbuh tim ahli Pusat Layanan Difabel (PLD) tersebut.


Sebuah riset yang baik adalah mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik atau mempengaruhi sebuah kebijakan, khususnya terkait difabel. Menurut Ro’fah, sangat penting bagi seorang peneliti bertanya pada dirinya sendiri sebelum turun ke lapangan: apakah riset tersebut memberi manfaat?


Peneliti isu-isu kelompok marjinal seperti halnya difabel tidak sebatas menghasilkan produk pengetahuan. Sehingga komitmen untuk meningkatkan kehidupan penyandang disabilitas harus melekat pada peneliti. Riset menjadi bagian dari sebuah aksi pemberdayaan serta peningkatan akses difabel terhadap pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara.


Produksi pengetahuan itu sendiri harus adil, yaitu terdapat kesetaraan antara peneliti dengan informan yang diteliti. Sehingga ketimpangan kuasa dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya seorang periset memiliki power yang dibangun dari persepsinya sendiri. Meskipun dalam praktiknya sebuah riset mengikuti metode sesuai ukuran akademik, seorang peneliti selalu ditempatkan pada posisi sebagai seorang ahli. Maka kesadaran untuk tidak menempatkan difabel hanya sebagai objek menjadi penting.


“Apa yang kita katakan, yang kita tulis dan pertanyakan, hasilnya akan mempengaruhi bagaimana orang berpikir,” paparnya.


Perempuan yang aktif bergerak dalam perlindungan kelompok rentan dan marjinal itu menguraikan empat poin yang perlu dipahami dalam melakukan penelitian difabel. Poin pertama yang disampaikan adalah terkait landasan konseptual difabel. Seringkali riset-riset terkait difabel justru salah kaprah dalam menggambarkan sosok difabel. Mereka dideskripsikan melalui satu sudut pandang personal dan kondisi fisik. Hal ini yang kemudian disebut dalam Teori Tragedi Personal. Peneliti secara tidak tepat melihat problem disabilitas hanya terletak pada hambatan individualnya. Karena proses peminggiran inilah, kata Ro'fah, “Ini masih menjadi sudut pandang yang sangat stigmatif.”


Kemudian, dalam konteks social model of disability, persepsi seorang peneliti harus dibangun sedemikian rupa. Bahwa yang menjadikan seseorang menyandang disabilitas ialah lingkungan dan struktur sosial yang ada. Dalam model sosial, disabilitas dilihat sebagai keberagaman. Hal ini berbeda dengan paradigma lama yang menyatakan bahwa disabilitas merupakan kekurangan individu一yang hanya akan dapat disembuhkan dengan pengobatan atau rehabilitasi. 


Model sosial inilah hal utama yang perlu dijadikan landasan epistemologi bagi peneliti isu difabel. Fokus penelitian adalah lingkungan sosial yang melahirkan disabilitas. Sehingga riset tidak cenderung timpang ataupun fokus pada individualisasi masalah.


Namun perlu digarisbawahi pula, bahwa komitmen semacam ini pun tidak sepenuhnya dilimpahkan pada peneliti. Seorang peneliti berperan memfasilitasi serta menyuarakan hak-hak difabel yang tidak didengar.


“Pemberdayaan itu sebenarnya tidak kita (re:peneliti) lakukan, tapi kita mendorong proses self-empowerment,” pungkas Ro’fah pada penghujung acara. Diskusi siang itu pun diakhiri dengan sesi tukar-tambal pendapat dari beberapa peserta yang tertarik dengan riset difabel.



(Dina Tri Wijayanti)


Kabar terkait ...

0 comments