Tahun 2008 adalah masa generasi kedua Pusat Studi Layanan Difabel (PSLD) atau yang sekarang berganti nama menjadi Pusat Layanan Difabel (PLD). Pada tahun inilah Abdullah Fikri mulai menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga di Prodi Jinayah Siyasah. Fikri, panggilan akrabnya, memiliki keterbatasan dalam penglihatan. Tetapi hal tersebut bukanlah menjadi penghalang baginya untuk menggali ilmu pengetahuan. Di awal masa kuliahnya, Ia harus bekerja keras untuk dapat mengenali lingkungan sekitarnya.
"Kalau ada temen yang ada keperluan ke tempat perpustakaan atau sekitar kampus, saya minta diajak juga. Itu agar kenal lingkungan sekitar,"ungkapnya.
Untuk memahami materi kuliahnya, Fikri harus membaca berlebar-lembar buku referensi yang sebelumnya discan terlebih dahulu. Ketika itu, Perpustakaan belum menyediakan koleksi Elektronik Book (E-Book). Melalui aplikasi Job Access With Speech (JAWS), Fikri dapat membaca teks melalui layar monitornya. Selain itu, untuk menambah wawasannya, Fikri memilih untuk banyak berdiskusi dengan teman-teman dari berbagai komunitas. Selain itu Fikri aktif di Pusat Studi Konsultasi Hukum (PSKH) dan aktif pula di Pusat Studi Syari'ah dan Konstitusi dengan fokus masalah debat Konstitusi.
"Kalau musim ujian, saya lebih memilih didampingi oleh relawan dari luar PLD," ujarnya saat ditanya mengenai pendampingan ujian.
Sikapnya yang terbuka dengan orang lain, membuat banyak orang yang mengenalnya. Karena itu tidak sulit untuk mencari relawan baru saat ujian berlangsung. Fikri juga menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mensosialisasikan bentuk-bentuk pengenalan struktur pendampingan tuna netra di kalangan kampus. Hal tersebut juga dilakukan ketika Ia mengerjakan skripsinya.
Pada tahun 2012, gelar S.H.I telah disandang Fikri. Setelah itu, Fikri melanjutkan pendidikannya dengan mengambil prodi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam di UIN Sunan Kalijaga.
Dalam bidang akademik, Fikri mengaku sangat ketat terhadap intervensi dari orang lain. “Relawan hanya membantu hal-hal teknis saja. Secara subtansi saya melakukannya sendiri. Sama seperti ketika belajar hal-hal baru. Saya hanya mau diajari, tidak mau didikte”paparnya." Menurutnya, ilmu pengetahuan didapatkan dari pengembangan informasi yang telah diterima dari orang lain.
Tahun 2015, Fikri berhasil menyelesaikan pendidikan masternya. Tidak sedikit rintangan yang dialami Fikri selama masa perkuliahannya. Seperti waktu yang cukup banyak untuk mencari orang yang dapat membacakan buku-buku terkait tugas kuliah. “Beda dengan pendampingan saat ujian. Itu lebih mudah. Kalau pas butuh bantuan dadakan, itu sulit. Jadi banyak waktu yang terbuang untuk hal seperti itu,” kisahnya.
Kiprah Fikri di dunia akademik tidak berhenti sampai di pintu wisuda. Berbekal ilmu pengetahuan yang didapatnya, Fikri seringkali diminta untuk menjadi narasumber seminar di beberapa kampus. Tak hanya itu, Ia pun diminta menjadi asisten dosen. “ Kesibukan lainnya ya membantu PLD dan tergabung dengan tim peneliti,” paparnya.
Kampus Inklusif
Kampus UIN Sunan Kalijaga mendapat penghargaan sebagai kampus Inklusi yang diberikan oleh dinas Pendidikan. Menyambung akan hal tersebut, Fikri memaparkan pandangannya dari pengalaman yang dialaminya. Menurutnya, parameter yang tepat untuk mengukur kampus inklusi dapat dilihat dari dua sisi yaitu aksesibilitas dan acceptibilitas.
Mengenai aksesibilitas kampus, Fikri merasa sudah cukup bagus saat ini. Ia membandingkan dengan masa kuliahnya dulu yang cukup menguji kemandirian. Dilihat dari PLD yang semakin banyak membantu dan melayani kebutuhan Difabel. Seperti, koleksi E-Book yang dimiliki perpustakaan serta didirikannya Difabel Corner (DC). DC merupakan produk dari kerja sama perpustakaan dengan PLD yang bertempat di lantai 1 perpustakaan. “Itu dari segi disabilitas yang saya alami. Tapi untuk disabilitas yang lain masih perlu banyak pembenahan lagi. Kalaupun ada kebijakan, tapi belum terimplementasi dengan baik,”ungkapnya.
Akseptabilitas merupakan gambaran penerimaan difabel di tengah masyarakat kampus. Namun hal yang terjadi saat ini, masih belum menyeluruh. Terbukti dengan masih adanya prodi yang menolak difabel dengan alasan teknis yang seharusnya dapat diatasi oleh pihak kampus.
Dilihat dari kedua hal itu, UIN Sunan Kalijaga masih dalam tahap menuju inklusi. Artinya belum menjadi kampus yang inklusi. Fikri juga memaparkan tentang pengamatannya mengenai idealnya kampus inklusi. Ada dua faktor yang harus diperhatikan. Melihat struktur kampus dan difabel itu sendiri. Dari struktur kampus, sikap inklusi masih belum merata di kalangan mahasiswa dan staff. Selain itu kebijakan afirmatif seperti beasiswa untuk difabel belum ada.
“Kebutuhan untuk media pembelajaran bagi difabel tentu berbeda dengan mahasiswa lain. Lebih banyak uang yang dikeluarkan untuk scan materi. Belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk mobilitas dari tempat tinggal ke kampus. Itu yang saya alami dulu,” kenangnya.
Dari segi difabel sendiri harus lebih proaktif dalam melaksanakan kewajibannya sebagai mahasiswa. Difabel harus konsekuen terhadap hak dan kewajibannya. “Nggak cuma nuntut fasilitas aja tapi hal fasilitas yang sudah tersedia harusnya.mampu mendorong Difabel untuk lebih meningkatkan kapasitasnya sebagai personal. Megembangkan potensi diri dalam proses pembelajaran,” jelas Fikri.
Mengakhiri sesi wawancara, Fikri menegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga sebagai universitas yang pertama kali menginisiasi kampus inklusi, harusnya menyadari bahwa lebel tersebut harus didukung dengan power yang kuat. Power tersebut berupa dan a yang harus dipersiapkan serta keinklusian di masyarakat kampus itu sendiri. (faroha)