Terkini di PLD:
Loading...

Memahami Bahasa Tunarungu

Oleh Iis Ernawati
 
Mungkin ada yang berbeda saat kita mengamati bahasa verbal teman-teman difabel rungu. Sebagian besar dari mereka memiliki kesulitan dalam memahami bahasa tulis dan bahasa lisan. Hal itu disebabkan mereka terlahir dengan perbedaan dalam hal pendengaran. Jika difabel rungu mengalami ketulian semenjak lahir berarti dari lahir dia memang tidak mengenal bahasa lisan dan tulis. Yang dia pahami adalah bahasa isyarat. Kesulitan difabel rungu dalam memahami bahasa lisan dan tertulis sama halnya dengan saat kita kesulitan memahami bahasa mereka. Dapat diumpamakan seperti kita kesulitan memahami bahasa-bahasa di negara lain yang tidak kita kenal, semisal bahasa Latin, Tagalog, India maupun Spanyol. 
Adanya tulisan ini untuk memberikan pemahaman. Mungkin ada diantara pembaca yang belum mengerti. Sehingga teman-teman nantinya tidak salah paham, menganggap bodoh atau bahkan menertawakan perbedaan yang mereka miliki. Kalau saya sendiri awalnya memang belum paham dan menganggap pemahaman mereka sama sengan pemahaman kita dalam hal bahasa. Ternyata saya baru menyadari setelah berinteraksi dengan teman difabel rungu.
Ada sebuah cerita, waktu itu di kelas Fakultas Tarbiyah dosen sedang menjelaskan sebuah materi kuliah. Dari sekian peserta ada satu mahasiswa rungu yang sedang mengikutinya. Dalam satu penjelasannya dosen mengungkapkan sebuah istilah yang mungkin saja  masih asing bagi si mahasiswa. Waktu itu dalam presentasinya dosen menjelaskan mengenai sebuah ayat yang menyinggung kata “terbakar wajahnya.” Bagi kita mungkin kata itu jelas sekali maknanya, namun ternyata bagi mahasiswa rungu frasa itu termasuk kata yang asing. Mungkin setahu dia kata terbakar maksudnya adalah api yang sedang membakar sesuatu, terus kata “wajah?” “Bagaimana bisa “wajahnya terbakar?”Hal-hal seperti itu mungkin saja sulit dipahami oleh mereka – karena sedari awal memang tak mengenal bahasa lisan dan tulisan.
 Sehingga waktu itu saya berusaha menjelaskan bahwa maksud dari kata “terbakar wajahnya” jika hubungkan dengan kata lainnya berarti “gosong.” Ya, maksud dari kalimat itu adalah sejenis “manusia-manusia yang gosong wajahnya.” Saya sudah agak lupa karena kejadiannya sudah lama. Namun dari itu saya bisa mengerti dan menyadari jika bahasa difabel rungu berbeda dengan bahasa kita. Kesulitan yang mereka alami sama dengan kesulitan kita saat memahami bahasa mereka. Juga yang membuat mereka kesulitan adalah penggunaan bahasa isyarat terkadang artinya terbalik dengan bahasa lisan maupun tulisan. Bahasa isyarat di Indonesia ada dua jenis, yaitu BISINDO (Berkenalan dengan Sistem Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Dua duanya memiliki perbedaan mendasar, satunya menyesuaikan tata bahasa yang satunya sepertinya belum/ tidak. Jelasnya, perbedaan secara detail dan penggunaanya saya belum mengerti.
Tapi jangan khawatir. Jika non-difabel saja bisa mempelajari bahasa mereka, mereka pun bisa memahami bahasa non-difabel. Saya pernah medengar cerita jika dulu di PLD UIN Sunan Kalijaga ada seorang relawan rungu dari Amerika Serikat. Dari segi bahasa tulis dan tata bahasanya dia tidak masalah. Dia juga dapat memahami bahasa lisan dan tulisan dengan baik. Dengan terus berlatih, banyak membaca, bertanya, berinteraksi dengan yang lainnya lambat laun difabel rungu akan dapat memahami bahasa lisan dan tulis.
Sebaliknya, akan sangat kesusahan bagi bagi non-difabel rungu (termasuk saya) memahami bahasa isyarat jika tidak sering berinteraksi dengan mereka. Baik itu bahasa isyaratnya sendiri maupun bahasa tulis yang mereka gunakan. Perlu diketahui terkadang bahasa tulis mereka tidak memenuhi kaidah S-P-O-K. Jadi saya pun sering kebingungan dan bertanya-tanya sebenarnya maksud dari si penulis ini apa. Itu wajar, karena selama ini bahasa isyarat jika diterjemahkan ke dalam bahasa tulisan hasilnya berbeda sekali. Bahasa isyarat cenderung tidak ada kata sambung, sedangkan bahasa lisan dan tulisan ada. Bahasa isyarat jika diterjemahkan ke dalam bahasa lisan maupun tulisan terkadang hasilnya berbeda dan terbalik-balik.
Itulah kenapa saya juga baru mengerti jika belajar bahasa (khusunya bahasa Indonesia) bagi difabel rungu menjadi satu kebutuhan yang penting. Kemudian diusulkanlah sebuah program di organisasi kami  mengenai pelatihan Bahasa Indonesa yang baik dan benar bagi para difabel rungu. Hal ini penting karena komunikasi dan bahasa adalah kebutuhan yang teramat penting bagi kita. “Kita tidak mungkin tidak berkomunikasi,” kata seorang ilmuwan Komunikasi.
Sebaliknya, jika kita ingin mengetahui dunia mereka, mengetahui bahasa dan apa yang mereka pikirkan maka alangkah baiknya kita juga mempelajari bahasa isyarat. Agar bisa saling memahami satu sama lain dan tidak terjadi salah paham...^^

Yogyakarta, 9 Desember 2014
*yang menulis juga belum pandai berbahasa isyarat kok, hehe
 
 
 
--------------------------------
Redkasi PLD: 
Silakan mampir di blog Iis yang keren: http://silakandibuka.blogspot.com/

Kabar terkait ...

0 comments