Terkini di PLD:
Loading...
,

Monthly Februari: Urgensi Pemahaman Hak-Hak Perempuan Difabel yang Rentan Di Mata Hukum




Siti Aminah memberikan sambutan

Perempuan difabel berpotensi memiliki beban ganda sebagai kelompok rentan, yaitu sebagai perempuan dan kedifabelannya. Ini membuat perempuan difabel berada pada posisi yang tidak diuntungkan, terlebih di hadapan hukum positif. Hal ini diulas lebih lanjut dalam diskusi bulanan Monthly Coffebility seri 4.1 yang bekerja sama dengan aliansi Komite International Women’s Day Yogyakarta. Diskusi digelar pada Rabu siang (26/02) bertempat di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.

Diskusi ini menghadirkan pembicara dari Dewan Perwakilan Cabang Persatuan Advokat Indonesia (DPC Peradi) yang diwakili oleh Sukiratnasari, S.H., M.H. dan satu pembicara dari  Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) yang diwakili oleh Nurul Saadah Andriani, S.H., M.H. Sebelumnya, Siti Aminah S.Sos.I., M. Si. memberikan sambutan mewakili PLD UIN Sunan Kalijaga, Diskusi ini dimoderasi oleh Yassina Emira Shahnaz. Diskusi ini dihadiri oleh 70 peserta.

Sukiratnasari, yang akrab dipanggil Kiki pembicara pertama menyampaikan berbagai persoalan dalam perspektif hukum terkait perempuan difabel. Berkaca  dengan pada sistem hukum yang ada di Indonesia, menurutnya masih terdapat fakta norma hukum yang belum akomodatif terhadap perempuan difabel. “Ditambahi dengan implementasi hukumnya yang belum cukup baik.” imbuhnya.

Seperti halnya dalam sistem hukum perdata, terdapat anggapan yang salah terhadap perempuan difabel. Mereka dianggap tidak cukup cakap dalam persoalan hukum. Hal tersebut seringkali dijumpai dalam kasus perceraian hingga soal pengasuhan anak. “Seorang anak, menurut penegak hukum lebih baik diasuh oleh orang yang tidak disabilitas, anggapannya masih seperti itu.” Terang Kiki.

Poster Monthly Coffebility Februari 2020
Diskusi pun beralih pada pembahasan hak-hak perempuan difabel dalam sudut pandang hukum Islam dan hukum adat. Berbeda dengan hukum positif, keduanya sama-sama mendudukkan perempuan difabel sebagai individu yang cakap hukum tanpa melihat perbedaan kempampuannya sehingga tidak ditemukan perbedaan hukum dalam pemenuhan hak. Akan tetapi, masalah tetap terjadi dalam implementasi hukum tersebut. Di beberapa daerah masih dijumpai diskriminasi terhadap perempuan difabel. Hal ini disebabkan oleh perspektif tentang hak-hak difabel yang tidak diketahui. “Ini pada dasarnya bukan pada sistem hukum adatnya, tapi dari pengetahuan yang memang belum terpapar informasi tentang hak-hak difabel.” Jelasnya.

Dalam hukum pidana, kondisi perempuan difabel masih menjadi kendala tersendiri ketika mereka menjadi saksi atau korban. Sebab dalam kitab undang-undang hukum acara pidana, seorang saksi hendaklah merupakan orang yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri saat tindak pidana itu terjadi. Dalam hal ini difabel sensorik akan berada dalam posisi sulit sebab kesaksiannya belum dapat dipercaya.

Kiri: Nurul Saadah Andriani. Kanan: Sukiratnasari
Senada dengan Kiki, Nurul Saadah, seorang aktivis SAPDA, menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat anak perempuan difabel memiliki kerentanan lebih. Kerentanan tersebut terjadi karena beberapa faktor, diantaranya jenis kelamin, peran sosial, orientasi seksual, situasi pendidikan, ekonomi dan lingkungan sosial. Adapun dua faktor penyebabkan perempuan difabel berada dalam posisi paling lemah adalah ragam disabilitas dan tingkatan usia.

Menurut Nurul, difabel intelektual akan lebih rentan daripada difabel fisik. Situasi ini juga dapat berubah dengan lingkungan sosial yang berbeda. Ragam disabilitas kedifabelan akan bertambah di hadapan undang-undang. Misalnya perempuan Tuli  yang rentan terhadap kekerasan seksual. Selanjutnya Nurul mengemukakan bahwa disabilitas bertambah ketika perempuan difabel kesulitan melapor akibat adanya gap komunikasi.

Begitupun dengan perempuan difabel daksa, mereka secara fisik rentan dirundung dan mengalami kekerasan seksual karena secara fisik terlihat berbeda dengan yang lain. Seperti halnya penyandang difabel polio maupun little people yang tubuhnya kerap dijadikan obyek seksualitas. “Mereka mendapat kekerasan seksual, dengan fisik itu susah untuk melawan.” tutur Nurul.
Kerentanan juga dapat dilihat berdasarkan pada usia. Pada masa bayi, anak perempuan difabel rentan memiliki kondisi kesehatan yang buruk. Sebab menurutnya beberapa orangtua mengasuh anaknya dalam kondisi penolakan (denial).

Menuju dewasa, permasalahan perempuan difabel bertambah ketika menjalin relasi hingga pada masa kehamilan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lingkungan yang eksklusif. Nurul mengatakan, “Di situasi ini mereka seringkali diabaikan, disembunyikan, atau dimanjakan berlebihan.” “padahal mereka memiliki otonomi atas diri dan hidupnya sendiri”, sambungnya.

Upaya Perlindungan atas Kerentanan

Pada dasarnya kondisi difabel tidaklah menjadi alasan seseorang tidak cakap hukum. Menurut Sukiratnasari, perwakilan Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Yogyakarta, masyarakat serta aparat penegak hukum belum memahaminya. Sehingga masih dijumpai kendala untuk perlindungan hukum perdata.

Aparat penegak hukum pada umumnya masih kurang memenuhi hak-hak perempuan difabel. Sehingga perlu adanya peningkatan perspektif. Sebab kurangnya pemahaman akan kerentanan difabel ini sangat berpotensi  menghilangkan hak mereka untuk memperoleh keadilan.

Berkaca pada beberapa kasus hukum, perempuan difabel memerlukan pendamping yang mana mereka harus memiliki tersertifikasi. Namun yang terjadi di kondisi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pendamping tidak memiliki sertifikat. Ini menjadi hambatan karena beberapa difabel didampingi oleh kerabat sendiri. “Jarang kita dapati sense ini pada aparat penegak hukum.” sambung Kiki. Oleh karena itu, Kiki mengajak masyarakat lebih membuka paradigmanya terkait isu difabel .

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini salah satu putusan yang dikeluarkan ialah Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa saksi dan korban konteksnya adalah mereka yang punya relevansi terhadap tindak pidana yang sedang berlangsung.

Selain itu, mekanisme global perlindungan yang bisa dilakukan salah satunya ialah dengan berjejaring (networking). Tidak hanya bagi organisasi difabel, semua pihak seperti penegak hukum, akademisi, jurnalis, dan organisasi profesi yang lain menurutnya perlu turut andil menyuarakan isu difabel . “Ini harus ada jejaring yang kuat, disamping juga pemerintah yang harus melaksanakan tugasnya, memenuhi hak-hak perempuan difabel.” imbuhnya.

Sependapat dengan Kiki, Nurul menyatakan bahwa dibutuhkan perlindungan khusus atas kerentanan perempuan difabel. Dalam persoalan ini terdapat marjinalisasi karena ketidakadilan gender dan disabilitas. Untuk itu dibutuhkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang otonomi tubuh pun juga harus digalakkan untuk memastikan bahwa perempuan difabel itu juga merupakan individu yang bermartabat. “Harus ada tindakan afirmasi, untuk memastikan difabel perempuan memiliki akses yang sama.” pungkasnya.

Ketidakadilan gender dan kedifabelan dalam siklus kehidupan seorang difabel perempuan layaknya sebuah lingkaran yang membuat mereka terkungkung dan rentan. Stigma masyarakat, diskriminasi, marjinalisasi, beban ganda, hingga kekerasan seksual menjadi hal yang penting dipahami seluruh elemen masyarakat.
(Dina Tri Wijayanti)

Foto Bersama



Kabar terkait ...

0 comments