Komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam meningkatkan kesadaran aksesibilitas terhadap difabel terus diupayakan oleh Pusat Layanan Difabel. Kali ini, PLD memulai kembali diskusi bulanan pertama di tahun 2018, yakni Monthly Coffeebility. Diskusi bulan Februari ini (28/2/18) mengangkat tema “Kita, Bahasa Isyarat, dan Budaya Tuli”. Pembicara pada kesempatan kali ini merupakan seorang difabel Tuli kelahiran Jakarta yang bernama Phieter Angdika. Ia merupakan peneliti muda, Laboratorium Riset Bahasa Isyarat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kiprahnya malang melintang di dunia bahasa isyarat. Diskusi ini berlangsung di kantor PLD, Gedung PKSI, Kampus Timur UIN Sunan Kalijaga. Diskusi ini berlangsung dari jam 13.00-15.00 WIB. Husnil Khatimah sebagai ketua bertugas sebagai pembawa acara dan kepala PLD, Arif Maftuhin, memberikan sambutan.
Koentjoroningrat membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur, salah satu di antaranya adalah bahasa. Tuli sebagai komunitas memiliki budaya. Unsur budaya tersebut dapat diidentifikasi dari bahasa yang digunakan, yakni bahasa isyarat.
Tuli merupakan sebuah komunitas yang menggunakan bahasa isyarat sebagai media komunikasi. Bahasa isyarat (Sign Language) berbeda dengan bahasa pada umumnya. Bahasa isyarat setidaknya melibatkan kepaduan tiga komponen, yakni gerak tangan, ekspresi wajah, dan gerakan bibir.
UIN Sunan Kaliaga sebagai kampus inklusi memang menerima segala macam mahasiswa, terlebih mahasiswa dengan kemampuan berbeda (differently abled student) atau difabel. Mulanya, UIN menerima mahasiswa tunanetra, kemudian mahasiswa tunadaksa, Tuli, dan Cerebral Palsy. Oleh karena itu, penting bagi PLD sebagai unit layanan untuk meningkatkan kesadaran seputar budaya Tuli dan bahasa isyarat di kalangan umum, khususnya lingkungan UIN Sunan Kalijaga.
Di awal, Phieter menjelaskan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa isyarat. Phieter terlihat ekspresif dan mantab saat menjelaskan perbedaan tersebut dengan bahasa isyarat tentunya. Phieter dibantu oleh tiga juru bahasa isyarat secara bergantian, yakni Fahmi, Lia, dan Adi. Peserta diskusi ini diikuti oleh mahasiswa difabel dan non-difabel, baik dalam atau luar UIN Sunan Kalijaga. Ternyata, di antara mereka ada perwakilan dari mahasiswa Magelang yang ingin tahu perihal kegiatan ini dan PLD. Mereka sangat antusias mengikuti jalannya diskusi ini.
Bahasa isyarat merupakan bahasa yang sebagian besar dipilih oleh Tuli. Hal tersebut dikarenakan bahasa isyarat memberikan kelebihan daripada bahasa oral (gerak bibir). Bahasa isyarat dapat memaksimalkan penyampaian maksud secara tepat dibandingkan dengan bahasa oral. Keuntungannya, kesalahpahaman dalam komunikasi dapat diminimalisir. Phieter memperlihatkan video tanpa suara hanya gerak bibir kepada peserta. Peserta tampak kebingungan karena tidak jelas.
Selain itu, Phieter memberkan tips kepada peserta jika seandainya mereka memiliki anak yang Tuli. Ia menyampaikan bahwa cara terbaik untuk mengajarkan bahasa isyarat kepada anak sedini mungkin. Karena pada usia 0-5 tahun, anak berada pada periode emas. Selama periode tersebut, otak anak mudah menyerap berbagai hal, salah satunya bahasa. Ananl yang memperoleh bahasa isyarat selama rentang usia itu dapat menggunakan bahasa isyarat secara lancar dan memaksimalkan potensinya. Ia menguatkan pernyataannya dengan memutar video seorang anak yang diajari bahasa isyarat oleh orang dewasa. Video tersebut diambil dari Baby Sign Language. Ia bercerita bahwa setidaknya orangtua Tuli dapat berbahasa isyarat agar komunikasi yang intim dapat terjalin antara orangtua dan anak.
Cara-cara Berkomunikasi dengan orang Tuli (Pertama kali)
Phieter memberikan beberapa alternatif dalam berkomunikasi dengan Tuli jika belum menguasai bahasa isyarat, seperti menggunakan alat tulis dan chat ponsel. Gestur juga bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan Tuli. Selain itu, minimal kita bisa menguasai bahasa isyarat berupa abjad berupa pengejaan (fingerspelling) agar memperjelas gestur tersebut. Cara ini cocok bagi pemula yang belajar bahasa isyarat. Cara-cara tersebut dapat digunakan dalam keadaan biasa atau informal. Namun, dalam acara resmi dan formal cara-cara tersebut kurang efektif sehingga dibutuhkan penerjemah bahasa isyarat atau juru bahasa isyarat.
Penggunaan juru bahasa isyarat adalah salah satu cara yang paling direkomendasikan dalam seminar, konferensi, atau yang sejenisnya. Seorang JBI harus memahami perbedaan antara budaya Tuli dan budaya dengar serta kode etik sebagai juru bahasa. Etika tersebut di antaranya, ketika berkomunikasi dengan Tuli melalui JBI, pastikan kita selalu menghadap langsung ke arah Tuli (bukan ke arah JBI).
“I am a visual person, given that I am deaf”. Nyle DiMarco