Coffeebility,
featured
Bedah Buku Masjid Ramah Difabel karya Dr. Arif Maftuhin
1:45 PM Raisa 0 Comments
Problem aksesibilitas menjadi bahasan
penting dalam isu difabel tidak terkecuali aksesibilitas ruang publik, seperti
rumah ibadah. Kemudahan bagi difabel untuk beribadah, masih sangat jauh dari
kata memadai. Monthly Coffeebility Tema seri 3.5 berkesempatan membedah
buku Masjid Ramah Difabel karya Dr. Arif Maftuhin. Turut mengundang Setya Adi
Purwanto dari Dria Manunggal selaku pembedah buku. Diskusi ini dimoderasi oleh Madurasmi.
Diskusi berlangsung pada hari Kamis, 17 Oktober 2019 bertempat di Ruang
Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi berdurasi 2 jam
diikuti sekitar 70 orang.
Dikisahkan oleh Arif, lahirnya
buku ini terinspirasi dari studi bandingnya di Los Angeles, Amerika Serikat.
Secara umum, masjid disana sudah aksesibel, seperti tersedia juru bahasa isyarat,
kursi untuk manula, dan ramp untuk jalur kursi roda bagi difabel daksa.
Dalam bukunya, Arif melakukan
riset di tiga masjid di Yogyakarta yakni Masjid UGM, Masjid Syuhada Kotabaru,
dan Masjid Kauman. Alasan pemilihan masjid UGM dikarenakan UGM mewakili kampus
paling diminati oleh banyak calon mahasiswa,
sehingga masjid ini perlu ditinjau bagaimana tingkat aksesibilitasnya.
Kedua, Masjid Syuhada, masjid ini adalah tinggalan Sukarno sebagai hadiah dari
pemerintah untuk Yogyakarta setelah menjadi ibu kota. Ketiga, Masjid Keraton
atau yang lebih dikenal dengan masjid Gedhe Kauman sebagai ikon Kota Sultan.
Seperti yang sudah diketahui, tanpa penelitian pun masjid-masjid di indonesia
belum aksesibel. Mulai dari bangunan fisik, layanan, maupun informasi.
Lebih lanjut, berdasarkan riset
lapangan yang Arif lakukan sebelum buku ini ditulis, Masjid Nabawi dan Masjidil
Haram yang berlokasi di Arab Saudi adalah contoh masjid yang aksesibel. Kedua masjid ini ramah bagi
siapapun. Kursi roda bisa bergerak bebas, juru bahasa isyarat, sampai Qur’an
braille tersedia.
Bapak Setya Adi Purwanta menambahkan
bahwa aksesibilitas berarti kemudahcapaian, bukan sekedar urusan toilet, kursi,
braille dan juru bahasa isyarat. Prinsip aksesibiltas dimulai dari menuju,
mencapai, memasuki, dan memanfaatkan bangunan dengan aman, nyaman, mudah dan
mandiri. Semua unsur tersebut sangat penting bagi difabel. Masjid harus
mewakili keramahan Tuhan dan menerima siapapun yang ingin dekat pada Tuhan.
Diakhir penyampaiannya, beliau mengatakan,
“Orang yang bisa melihat, adalah
orang yang membagikan sebagian penglihatannya kepada orang buta, sehingga orang
buta itu biasa membaca dan mengamalkan ajaran Tuhan dengan kebutaannya...
...Orang yang bisa mendengar,
adalah orang yang membagikan sebagian pendengarannya kepada Tuli, sehingga Tuli
itu bisa mendengar dan mengamalkan ajaran Tuhannya dengan ketuliannya, dan
...Orang yang bisa berjalan,
adalah orang yang membagikan sebagian langkahnya kepada orang yang tidak bisa
berjalan, sehingga orang yang tidak bisa berjalan itu bisa memasuki rumah
Tuhannya untuk belajar dan mengamalkan ajaran Tuhan dengan ketidakmampuan
berjalannya”. (Silmi Malina Binta)