Sejauh ini, seperti apa representasi difabel ketika muncul di media? Ajiwan Arief Hendradi memantik diskusi Monthly Coffeebility edisi Juli ini dengan pertanyaan tersebut. Diskusi yang bertajuk “Representasi Difabel dalam Media” tersebut mengajak semua untuk menilik kembali bagaimana difabel sebagai kelompok minoritas dikemas dalam media. Diskusi diselenggarakan pada Jumat, 24 Juli 2020 itu berlangsung secara daring melalui ZOOM.
Ajiwan merupakan redaktur Solider. Solider adalah media inklusi dan advokasi difabel. Ajiwan mengatakan bahwa difabel masih menjadi kelompok nomor dua. Mereka seringkali dianggap tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia pasti punya beberapa faktor yang menimbulkan banyak warganya menjadi difabel. Akan tetapi, narasi difabel tidak biasa hadir di tempat-tempat publik.
“Ini menyebabkan masyarakat kita asing terhadap teman-teman difabel.” kata Ajiwan dalam ruang diskusi daring tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak biasa melihat keberagaman dan perbedaan.
Difabel pun tereksklusi. Mereka jarang memperoleh kesempatan untuk menikmati fasilitas publik. “Masyarakat kita jadi gak mengenal teman-teman difabel,” tuturnya. Dengan begitu media menjadi tempat masyarakat untuk mengenal sosok difabel. Namun, media justru kerapkali keliru dalam membingkai narasi tentang difabel. Selama ini media belum menghadirkan sosok difabel secara proporsional. Sehingga banyak stereotip yang dilekatkan pada sosok difabel. Ini seperti sebab-akibat. Karena pandangan semacam itu muncul, maka masyarakat mengamininya sehingga difabel dikenal dengan stereotip dari media tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Hunt, ia mencatat terdapat sepuluh jenis stereotip yang digambarkan media terhadap difabel. Dalam pemaparannya, Ajiwan menyatakan setidaknya terdapat enam dari sepuluh stereotip yang sering ditampilkan dalam media kita di Indonesia.
Stereotip tersebut antara lain adalah difabel menjadi objek tertawaan, menjadi beban sosial, digambarkan sebagai sosok lemah yang perlu dikasihani, dipandang aseksual, menjadi objek rasa penasaran atas kemampuannya, dan difabel sebagai sumber inspirasi. Poin terakhir menjadi hal yang sering terjadi dalam media arus utama atau kerap disebut “Inspiration Porn”. Difabel banyak dikemas sebagai sosok yang menginspirasi karena keterbatasannya. Konten-konten media semacam ini justru mengamini stigma yang melekat pada difabel.
Upaya Mengurangi Stereotip Media
Terkait bagaimana media menampilkan sosok difabel sebagai sumber inspirasi, hal ini menuai berbagai pendapat. Meski pembingkaian semacam ini sudah dianggap lazim oleh industri media, sejumlah aktivis difabel merasa tak nyaman dengan ini.
“Lebih baik, kalau media mau menghadirkan sosok difabel, ditonjolkan sisi pemenuhan hak difabel,” terang Ajiwan. Hal itu menjadi persoalan klasik, sebab narasi difabel sebagi sumber inspirasi tersebut telah bertahun-tahun ditampilkan. Padahal para aktivis difabel berargumen bahwa masih banyak hak yang belum terpenuhi dan masih banyak difabel yang terdiskriminasi.
Dengan demikian Ajiwan menyampaikan dua hal terkait bagaimana seharusnya difabel dihadirkan dalam media. Pertama, difabel harus dihadirkan secara wajar sebagai manusia biasa. Beberapa media masih cukup sering menampilkan kelompok difabel ini secara berlebihan. Misalnya sebuah acara yang menonjolkan keprihatinan yang tidak manusiawi.
Upaya kedua adalah dengan menampilkan sisi kampanye hak dan kesetaraan difabel. “Seperti yang kita tahu, difabel itu bukan fisiknya yang bermasalah," "Tapi lingkunganlah yang belum aksesibel” papar Ajiwan. Lingkungan masih belum mampu mengakomodasi apa yang dibutuhkan difabel. Sehingga kampanye untuk menimbulkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kesetaraan ini harus dan perlu dilakukan oleh siapapun yang memiliki komitmen dalam isu tersebut, termasuk dalam media.
Kendati demikian, menghadirkan dua kondisi ideal itu tidak mudah. Begitu kompleksnya persoalan di media, menyebabkan keberpihakannya sangat lemah. Misalnya persoalan rating yang membuat konten difabel kurang diminati atau mendapat respon.
Memproduksi banyak konten kampanye media pun menjadi bentuk upaya dalam mengurangi stereotip terhadap difabel. Hal ini juga dibahas dalam sesi tanya-jawab. Dimana konten yang dihasilkan dalam media-media arus utama juga perlu dikritisi dan dijadikan bahan diskusi. Terutama soal isu aksesibilitas, ini menjadi isu yang banyak dilirik media arus utama. Lebih-lebih dalam masa pandemi Covid-19. Difabel masih menjadi kelompok rentan dengan akses informasi yang simpang siur.
Maka dengan adanya beberapa platform yang memungkinkan kita menyebarluaskan satu isu, kata Ajiwan, buatlah konten kampanye sebanyak mungkin. “Kita harus melawan dengan cara yang kreatif, elegan, dengan memproduksi konten yang positif.” pungkasnya.
(Dina Tri Wijayanti)
Ajiwan merupakan redaktur Solider. Solider adalah media inklusi dan advokasi difabel. Ajiwan mengatakan bahwa difabel masih menjadi kelompok nomor dua. Mereka seringkali dianggap tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia pasti punya beberapa faktor yang menimbulkan banyak warganya menjadi difabel. Akan tetapi, narasi difabel tidak biasa hadir di tempat-tempat publik.
“Ini menyebabkan masyarakat kita asing terhadap teman-teman difabel.” kata Ajiwan dalam ruang diskusi daring tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak biasa melihat keberagaman dan perbedaan.
Difabel pun tereksklusi. Mereka jarang memperoleh kesempatan untuk menikmati fasilitas publik. “Masyarakat kita jadi gak mengenal teman-teman difabel,” tuturnya. Dengan begitu media menjadi tempat masyarakat untuk mengenal sosok difabel. Namun, media justru kerapkali keliru dalam membingkai narasi tentang difabel. Selama ini media belum menghadirkan sosok difabel secara proporsional. Sehingga banyak stereotip yang dilekatkan pada sosok difabel. Ini seperti sebab-akibat. Karena pandangan semacam itu muncul, maka masyarakat mengamininya sehingga difabel dikenal dengan stereotip dari media tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Hunt, ia mencatat terdapat sepuluh jenis stereotip yang digambarkan media terhadap difabel. Dalam pemaparannya, Ajiwan menyatakan setidaknya terdapat enam dari sepuluh stereotip yang sering ditampilkan dalam media kita di Indonesia.
Stereotip tersebut antara lain adalah difabel menjadi objek tertawaan, menjadi beban sosial, digambarkan sebagai sosok lemah yang perlu dikasihani, dipandang aseksual, menjadi objek rasa penasaran atas kemampuannya, dan difabel sebagai sumber inspirasi. Poin terakhir menjadi hal yang sering terjadi dalam media arus utama atau kerap disebut “Inspiration Porn”. Difabel banyak dikemas sebagai sosok yang menginspirasi karena keterbatasannya. Konten-konten media semacam ini justru mengamini stigma yang melekat pada difabel.
Upaya Mengurangi Stereotip Media
Terkait bagaimana media menampilkan sosok difabel sebagai sumber inspirasi, hal ini menuai berbagai pendapat. Meski pembingkaian semacam ini sudah dianggap lazim oleh industri media, sejumlah aktivis difabel merasa tak nyaman dengan ini.
“Lebih baik, kalau media mau menghadirkan sosok difabel, ditonjolkan sisi pemenuhan hak difabel,” terang Ajiwan. Hal itu menjadi persoalan klasik, sebab narasi difabel sebagi sumber inspirasi tersebut telah bertahun-tahun ditampilkan. Padahal para aktivis difabel berargumen bahwa masih banyak hak yang belum terpenuhi dan masih banyak difabel yang terdiskriminasi.
Dengan demikian Ajiwan menyampaikan dua hal terkait bagaimana seharusnya difabel dihadirkan dalam media. Pertama, difabel harus dihadirkan secara wajar sebagai manusia biasa. Beberapa media masih cukup sering menampilkan kelompok difabel ini secara berlebihan. Misalnya sebuah acara yang menonjolkan keprihatinan yang tidak manusiawi.
Upaya kedua adalah dengan menampilkan sisi kampanye hak dan kesetaraan difabel. “Seperti yang kita tahu, difabel itu bukan fisiknya yang bermasalah," "Tapi lingkunganlah yang belum aksesibel” papar Ajiwan. Lingkungan masih belum mampu mengakomodasi apa yang dibutuhkan difabel. Sehingga kampanye untuk menimbulkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kesetaraan ini harus dan perlu dilakukan oleh siapapun yang memiliki komitmen dalam isu tersebut, termasuk dalam media.
Kendati demikian, menghadirkan dua kondisi ideal itu tidak mudah. Begitu kompleksnya persoalan di media, menyebabkan keberpihakannya sangat lemah. Misalnya persoalan rating yang membuat konten difabel kurang diminati atau mendapat respon.
Memproduksi banyak konten kampanye media pun menjadi bentuk upaya dalam mengurangi stereotip terhadap difabel. Hal ini juga dibahas dalam sesi tanya-jawab. Dimana konten yang dihasilkan dalam media-media arus utama juga perlu dikritisi dan dijadikan bahan diskusi. Terutama soal isu aksesibilitas, ini menjadi isu yang banyak dilirik media arus utama. Lebih-lebih dalam masa pandemi Covid-19. Difabel masih menjadi kelompok rentan dengan akses informasi yang simpang siur.
Maka dengan adanya beberapa platform yang memungkinkan kita menyebarluaskan satu isu, kata Ajiwan, buatlah konten kampanye sebanyak mungkin. “Kita harus melawan dengan cara yang kreatif, elegan, dengan memproduksi konten yang positif.” pungkasnya.
(Dina Tri Wijayanti)