Diskusi Penyusunan Buku Panduan Modifikasi Kurikulum Inklusi
3:00 PM PLD UIN Sunan Kalijaga 0 CommentsSejak berdiri sekitar empat belas tahun yang lalu, Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga menjadi pelopor kampus inklusif. Selain itu, PLD ikut berkontribusi mengawal semangat kampus-kampus lain menjadi inklusif. Dalam proses perwujudannya, diperlukan partisipasi dari berbagai kalangan. Di era pandemi, proses pembelajaran dalam pendidikan inklusif perlu disesuaikan. Oleh karena itu, disusunlah buku bertajuk “Panduan Modifikasi Kurikulum Inklusi” oleh para tim ahli PLD yang terdiri dari: Astri Hanjarwati, Ro’fah, Andayani, Asep Jahidin, Siti Aminah, dan Jamil Suprihatiningrum. Sebagai langkah awal, PLD menggelar Review dan Diskusi Buku Modifikasi Kurikulum Inklusi yang diadakan pada Jumat, 19 Maret 2021 di Hotel Grand Mercure.
Acara ini juga mengundang berbagai pihak, di antaranya: Muhrisun (ketua LPPM), Adib Sofia (Sekretaris LPPM), Achmad Zainal Arifin (Kepala Kapuslit), Epha Diana Supandi (Kapus Penjaminan Mutu), Trio Yonathan Teja Kusuma (Kepala PPM), Anita Sufiyati (Kasubag TU), Sri Sulistyorini (BPP LPPM), Fachry Husein (Ketua LPM), Ragil Ristiyanti (Staf Jurnal Inklusi), serta beberapa alumni dan relawan PLD. Astri Hanjarwati, selaku kepala PLD menyampaikan bahwa diskusi ini diadakan sebagai salah satu upaya penyempurnaan draf buku dengan menampung masukan dari pihak-pihak yang hadir terkait modifikasi Rencana Pembelajaran Semester (RPS) bagi mahasiswa difabel.“Dimodifikasi, tetapi harapannya tidak jauh dari standar jaminan mutu UIN Sunan Kalijaga,” tambah Astri.
Buku ini sendiri berfokus pada pengenalan konsep Universal Design Learning (UDL) dan adaptasi kurikulum pembelajaran yang inklusif. Tim penyusun berharap buku ini mampu menjadi panduan bagi para dosen, baik di lingkungan UIN Sunan Kalijaga maupun perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, naskah yang masih berbentuk draf ini juga mengenalkan konsep difabel, jenis-jenis kurikulum, tahapan modifikasi, adapatasi yang dilakukan, prinsip, serta strategi-strategi praktisnya.
Dalam pendidikan inklusi, seringkali yang menjadi kendala utama adalah terkait perspektif dosen terhadap difabel. Meskipun beberapa dosen telah sadar akan capaian pembelajaran yang harus dipenuhi.
“Seringkali dosen kebingunan kurikulum inklusif yang bagaimana, terutama terkait pembelajaran inklusif,” papar Asep Jahidin mengawali diskusi buku pagi itu. Asep banyak memeaparkan mengenai gambaran umum PLD serta substansi dari keseluruhan isi buku.
Kemudian, Ro’fah memaparkan pada bagian pendidikan inklusi melalui dua paradigma, baik secara umum maupun khusus. “Framework dari apa yang kita tulis lahir dari keinginan untuk mewujudkan rancangan pembelajaran yang inklusif,” jelasnya. Menurutnya, pembelajaran yang baik adalah yang dapat diakses bagi semua keberagaman kebutuhan peserta didik. Dua pendekatan yang ditawarkan masing-masing memiliki poin target yang harus dipenuhi.
UDL adalah pendekatan rancangan pembelajaran yang universal. Pembelajaran inklusif ini berlaku bagi seluruh mahasiswa sehingga tercipta lingkungan belajar yang mendukung bagi semua peserta didik. Adaptasi sendiri terbagi menjadi akomodasi dan modifikasi. Sebab tidak semua mahasiswa membutuhkan perubahan pada konten utama pembelajaran. Akomodasi dapat berupa teknologi bantu atau bantuan manusia.
“Target akomodasi adalah mahasiswa difabel sensorik dan fisik, kemudian mahasiwa difabel mental,” lanjutnya. Sementara modifikasi dilakukan bagi mahasiswa difabel intelektual dan Tuli yang tidak menguasai Bahasa Indonesia.
Lebih lanjut, saat sesi tukar-tambal pendapat, Epha Diana Supandi menimpali, “Pertama dari pemenuhan standar mutu yang selalu ingin kami tekankan, ada formatnya yang menjadi acuan.”
Hal tersebut mengacu pada karakteristik pembelajaran yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang direvisi dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 pasal 11. Selain itu, menurut Epha, panduan tersebut juga harus melalui proses pemenuhan akreditasi yang masih perlu dijelaskan secara rinci terkait aspek penilaiannya.
Senada dengan itu, Adib selaku sekretaris LPPM memberi masukan terkait strategi rinci yang akan dimodifikasi sesuai kondisi mahasiswa. Tidak hanya difabel, Adib juga menyinggung kendala yang seringkali terjadi pada mahasiswa asing. “Mereka dari latar belakang dan juga kondisi psikis yang berbeda,” terangnya.
“Kadangkala peraturan itu perlu kita interpretasikan dengan cara yang lebih kreatif untuk memastikan aksesibiltas itu muncul,” kata Ro’fah menanggapi masukan yang ada. Artinya, lanjut tim ahli PLD itu, perlu adanya terobosan baru. Standar mutu perlu diterjemahkan secara lebih kreatif. Interpretasi diperlukan agar regulasi yang ketat tidak menjadi penghambat bagi pendidikan inklusi.
“Kalau kita tidak melakukan perubahan secara nasional, setidaknya kita bisa menerjemahakan. Memasukkan inklusivitas sebagai nilai dalam akreditas,” imbuhnya.
“Perlu diambil benang merah antara PLD dan LPPM. Kurikulum merdeka ini bisa diimplementasikan ketika modifikasi kurikulum ini sudah terjadi,” kata Siti Aminah. Sinergi diperlukan untuk mewujudkan gagasan dan usulan terkait perubahan proses pembelajaran yang lebih fundamental bagi mahasiwa difabel.
Terkait hal tersebut, di penghujung diskusi Epha mengatakan bahwa beberapa rekomendasi yang dimunculkan dalam acara tersebut akan segera didiskusikan lebih lanjut oleh tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).
Dina Tri Wijayanti