Milad Ke-14 PLD: Komitmen Pelayanan bagi Pendidikan Inklusi dan Diskursus Disabilitas
2:21 PM PLD UIN Sunan Kalijaga 0 CommentsTahun ini, tepatnya pada tanggal 2 Mei 2021, Pusat Layanan Difabel (PLD) menginjak usianya yang ke-14 tahun. Di tengah pandemi, milad dirayakan secara daring dengan berbagai rangkaian acara. Salah satu puncaknya adalah “Sarasehan dan Temu Alumni Difabel UIN Sunan Kalijaga” yang digelar pada Rabu pagi, 21 Juli 2021.
Dalam acara berbagi kisah sekaligus reuni ini, Astri Hanjarwati selaku kepala PLD menyambut seluruh peserta, tim ahli, relawan dan narasumber yang hadir. Menghadirkan narasumber yang sukses dari berbagai bidang, antara lain Abdullah Fikri (Dosen UPN Surabaya), Dhomas Erika Ratnasari (Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga), Meta Puspitasari (Pemerhati Literasi Digital) dan Hendro Sugiyono Wibowo (Balai Besar Rehabilitas Vokasional Penyandang Disabilitas), diharapkan mampu menjadi pemantik semangat siapapun yang bergelut di pendidikan inklusi dan diskursus disabilitas.
Sejak awal berdiri, PLD dengan komitmen pelayanan memiliki prinsip kemitraan. Ini diungkapkan oleh ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LPPM), Muhrisun. “Karena pendidikan inklusi terlalu berat untuk dikerjakan PLD seorang, kita butuh bekerja bersama untuk memajukan dan tetap berjuang di diskursus disabilitas dan pendidikan inklusi ini,” sambutannya.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al-Makin sebagai keynote speaker menyampaikan gagasan bagaimana memaksimalkan potensi untuk mendukung komitmen dan keberlangsungan PLD. “PLD dari sisi prestasi dan komitmen sangat menggembirakan, ini tidak lepas dari pengurus, relawan, dukungan aktivis dan pihal-pihak lain. Saya kira ini karena kita memegang moral value yang baik,” jelasnya.
Al-Makin memantik pembahasan dengan menyampaikan gagasan secara sederhana tentang aliran filsafat stoisisme dan logosentrisme. Aliran tersebut berpandangan bahwa setiap manusia itu unik sehingga dalam konteks ini penyandang disabilitas pun memiliki hak dan pelayanan yang sama meskipun berbeda. Ia menekankan pada dua prinsip dari filsuf Epictetus dalam menghadapi kehidupan: apa yang dapat kita kontrol dan apa yang tidak bisa kita kontrol. Dalam menyikapi hal-hal yang tidak bisa dikontrol adalah dengan menerimanya. Sedangkan reaksi terhadap sesuatu yang dalam kendali adalah dengan melakukan yang terbaik. Inilah gambaran dari komitmen pelayanan PLD terhadap mahasiswa difabel.
Dari perspektif logosentrisme, Al-Makin memposisikan PLD sebagai wadah sekaligus suara bagi difabel yang seringkali terpinggirkan oleh masyarakat. Logosentrisme merupakan pemikiran yang menekankan pada kenyataan berdasarkan akal budi, yakni kata-kata dan bahasa sebagai ekspresi fundamental. Ucapan adalah bagian dari kuasa bahasa. Karenanya bahasa pun merupakan sebuah kesepakatan yang memiliki makna dan mengalami konstruksi selama sejarah manusia berlangsung. Pemikiran ini sekaligus mendukung segala sesuatu yang tidak disuarakan, dimana ada sesuatu di dalam individu maupun masyarakat yang tersembunyi. Sehingga peluang harus dapat diakses bagi siapapun, termasuk kaum marjinal. “Inilah (read: PLD) milik dari kaum yang terpinggir yang tak sempat berbicara. Maka kita harus bersuara, memberi suara bagi teman-teman kita,” pungkasnya mengakhiri pembahasan.
Peran PLD dan Pengalaman Mahasiswa Difabel
Sebelum beranjak ke sesi sarasehan bersama alumni, pada kesempatan siang itu PLD mengumumkan para pemenang lomba tingkat nasional yang digelar sejak tanggal 1 hingga 25 Juni 2021. Terdapat tiga mata lomba, di antaranya cover lagu bahasa isyarat yang dimenangkan oleh Helda dan Dhevy dari UIN Sunan Kalijaga, cover akustik dimenangkan oleh Brilliant dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, dan kompetisi esai dengan Ilham Muhammad dari Universitas Diponegoro sebagai peraih juara pertama.
Webinar nasional yang diawali dengan musikalisasi puisi oleh Ro’fah selaku tim ahli PLD dan Sri Muliyati, relawan PLD tersebut dihadiri oleh lebih dari 100 peserta. Masing-masing pembicara memaparkan proses mereka selama menempuh pendidikan sebagai difabel hingga kini bergelut di isu inklusi. Kehadiran PLD sendiri di UIN Sunan Kalijaga bagaikan rumah bagi mahasiswa difabel yang memiliki akses belajar di perguruan tinggi.
Menurut Abdullah Fikri, PLD mampu menjadi tonggak sejarah bagi pendidikan tinggi inklusif di Indonesia. Alumni difabel netra tersebut menilai pentingnya dukungan serta kerjasama dari para aktivis, organisasi dan berbagai pihak sehingga muncul sinergi kemitraan yang baik. Ia sendiri berkecimpung di PLD sejak awal menjadi mahasiswa di tahun 2008. Beberapa kali Fikri mengikuti kegiatan riset serta mengelola jurnal dengan sistem OCS (Online Charging System). Dosen yang juga sempat menjadi tim ahli PLD tersebut dulunya aktif saat menjadi mahasiswa. Hal itu ditunjukkan dengan perannya sebagai asisten dosen.
Fikri pun menyebut kampus menjadi laboratorium untuk mencari pengalaman dan bekal ilmu bagi mahasiswa, termasuk bagi mahasiswa difabel. Baginya mahasiswa difabel dapat tetap berperan dan berkegiatan aktif serta menciptakan sendiri masa depannya. Dalam konteks ekologi sosial, Fikri mengatakan bahwa pijakan awalnya adalah dari individu di samping pentingnya dukungan orang-orang terdekat. “Jadi ketika individu penyandang disabilitas tak memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan perubahan dalam dirinya, ditambah tidak memiliki dukungan dari keluarga, maka dia tidak bisa survive.”
Pernyataan itu senada dengan kisah Dhomas Erika Ratnasari yang kini tengah mengambil studi pascasarjana terkait disabilitas dan pendidikan inklusi. Dia menceritakan awal mula motivasinya bersekolah hingga kuliah. Program studi sarjana yang ia ambil adalah Ilmu Kesejahteraan Sosial. Di bangku kuliah, mahasiswa difabel Tuli itu belajar banyak mengenai permasalahan di masyarakat dan terjun langsung menjadi pekerja sosial. Sama seperti Meta Puspitasari, difabel daksa yang kini menjadi pemerhati literasi digital pun menceritakan hambatan yang ada. Peran PLD dan orang-orang terdekat dalam hal ini adalah memberikan kepercayaan pada difabel untuk menggali sendiri potensinya. Difabel perlu dipandang setara dengan yang lain oleh masyarakat dan diberi kesempatan yang sama. Ia berkisah meskipun terdapat hambatan dari segi sistem universitas, hal tersebut justru membuatnya bertindak lebih kreatif untuk mencari solusi belajar dengan metode lain. “Saya banyak mendapat pengalaman dari sekolah umum hingga melanjutkan di universitas, meskipun banyak hambatan” imbuh Dhomas.
Dalam mengelola hidup, pada dasarnya seorang individu memiliki dua orientasi. Yang pertama adalah terkait proses, dan kedua adalah hasil. Di lain sisi, setiap individu membutuhkan prestasi untuk dibanggakan sehingga berkaitan dengan motivasi yang dibahas oleh narasumber sebelumnya. Pendapat ini disampaikan oleh Hendro Sugiyono Wibowo, alumni difabel netra yang kin bergiat di Balai Besar Rehabilitas Vokasional Penyandang Disabilitas. Hendro yang dulunya berkecimpung di LSM Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), mengungkapkan bahwa PLD sebagai lembaga memiliki posisi yang penting untuk berpartisipasi secara aktif tidak hanya terkait difabel dalam lingkungan kampus akan tetapi juga terjun langsung di masyarakat. “Sebagai lembaga yang di dalamnya ada pengelolaan. Yang perlu dilakukan adalah membagi peran dalam setiap pengelolaan kepada teman-teman difabel, bagaimana mereka dilibatkan dalam proses-proses yang ada dalam PLD,” jelasnya mengakhiri reuni daring siang itu.
(Penulis: Dina Tri Wijayanti)