Events,
Tentang Inklusi
FGD Kelas Inklusi bersama Para Dosen UIN Sunan Kalijaga
Dalam dua minggu terakhir, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga mengadakan seri Focus Group Discussion dengan para dosen yang tengah mengajar mahasiswa tunarungu. Seri Pertama diselenggarakan pada tanggal 26 Maret 2014 bersama dengan para dosen Fakultas Sains dan Teknologi. Seri Kedua, yang berlangsung tanggal 27 Maret 2014, mengundang para dosen Fakultas Adab dan Tarbiyah. Sedangkan seri ketiga yang diadakan hari ini, 2 April, melibatkan para dosen Fakultas Dakwah dan Pusat Bahasa.
FGD dipilih sebagai media untuk menggali pengalaman para dosen dan memberi kesempatan kepada mereka untuk membagikan pengalaman itu dengan sesama dosen lain. Selama sehari para dosen ini membahas berbagai persoalan yang terkait dengan cara pandang mereka terhadap tunarungu, terhadap deaf culture, dan masalah-masalah yang terkait dengan cara menangani masalah-masalah itu di kelas mauopun di luar kelas.
Tidak dalam posisi memberi training, PLD ikut belajar banyak dari pengalaman frist hand para dosen. Pak Alwan Khoiri dari Fakultas Adab, misalnya, memberikan tip untuk mengajar mata-kuliah mata kuliah konseptual dengan alat peraga. "Sulit kan bagi saya untuk mengajar konsep qonaah, tawakkal, sabar, dan takabbur? Nah alat-alat peraga seperti foto dapat membantu mereka." Peserta juga saling memberi tip; selagi punya tip bagus seperti dalam contoh tersebut, Pak Alwan juga curhat, "Tapi saya ndak bisa nggambar..." kata Pak Alwan. Nah di forum itu Pak Alwan mendapatkan saran dari sesama peserta agar menggunakan google search image dan disambutnya dengan antusias.
Menurut Pak Zainudin dari Fakultas Dakwah, "Saya senang sekali dengan forum ini karena kita mengetahui banyak hal baru tentang anak-anak difabel." Memang, selain menggali pengalaman peserta, tim PLD yang mendampingi para peserta dalam diskusi juga membagikan berbagai informasi terkait dengan seluk beluk mahasiswa difabel yang selama ini menjadi dampingan PLD.
PLD memanfaatkan momen ini untuk berkomunikasi dan menjalin kerjasama lebih lanjut dengan para dosen, termasuk meminta masukan tentang program-program yang bisa dikembangkan PLD. Salah satunya adalah pelatihan Bahasa Isyarat untuk para dosen. "Kami tidak menduga, dan selama ini kami salah, bahwa para dosen ternyata sangat berminat belajar bahasa isyarat. Usulan agar kami menyelenggarakan bahasa isyarat itu muncul sebagai rekomendasi terpopuler dari FGD itu," kata Arif Maftuhin, kepala PLD.
Kasus pelatihan bahasa isyarat hanyalah salah satu saja dari 'temuan' menarik di forum ini. Temuan lain adalah adanya pandangan yang merata di kalangan dosen bahwa selama ini ada bentuk-bentuk disabilitas yang terabiakan oleh sistem pendidikan kita. Misalnya, disabilitas piskologis.
Ketika para dosen berbicara tentang bagaimanakah memeperlakukan tugas bagi mahasiswa difabel dan non-difabel, muncullah pertanyaan apakah membedakan itu adil? Bu Ro'fah, mantan direktur PLD yang juga menjadi fasilitator, lalu mengisahkan bagaimana teman kuliahnya dulu di McGill mendapatkan tenggang waktu mengumpulkan tugas yang lebih lama dari mahasiswa lain. "Orang yang menderita kecemasan akut dan tidak bisa mengumpulkan tugas tepat waktu, selagi ia telah memperoleh asesmen dari Disability Office, ia akan mendapatkan dispensasi berdasarkan disabilitas psikologis [kecemasan]nya itu. Kita?" kata Bu Ro'fah.
Artinya, untuk menjadi universitas yang manusiawi dan world class university hal-hal seperti itu harus kita masukkan dalam agenda pengembangan universitas, dan tentu saja PLD -- agar tidak hanya mengurusi disabilitas fisik.
"Hasil-hasil FGD akan kami bukukan dan menjadi tambahan buku tentang penyelenggaraan kampus inklusi yang pernah kami terbitkan tahun 2010." Ungkap Bu Jamil, ketua panitia. Tentu, hasil FGD itu ditunggu banyak pihak ya Bu.
FGD dipilih sebagai media untuk menggali pengalaman para dosen dan memberi kesempatan kepada mereka untuk membagikan pengalaman itu dengan sesama dosen lain. Selama sehari para dosen ini membahas berbagai persoalan yang terkait dengan cara pandang mereka terhadap tunarungu, terhadap deaf culture, dan masalah-masalah yang terkait dengan cara menangani masalah-masalah itu di kelas mauopun di luar kelas.
Tidak dalam posisi memberi training, PLD ikut belajar banyak dari pengalaman frist hand para dosen. Pak Alwan Khoiri dari Fakultas Adab, misalnya, memberikan tip untuk mengajar mata-kuliah mata kuliah konseptual dengan alat peraga. "Sulit kan bagi saya untuk mengajar konsep qonaah, tawakkal, sabar, dan takabbur? Nah alat-alat peraga seperti foto dapat membantu mereka." Peserta juga saling memberi tip; selagi punya tip bagus seperti dalam contoh tersebut, Pak Alwan juga curhat, "Tapi saya ndak bisa nggambar..." kata Pak Alwan. Nah di forum itu Pak Alwan mendapatkan saran dari sesama peserta agar menggunakan google search image dan disambutnya dengan antusias.
Menurut Pak Zainudin dari Fakultas Dakwah, "Saya senang sekali dengan forum ini karena kita mengetahui banyak hal baru tentang anak-anak difabel." Memang, selain menggali pengalaman peserta, tim PLD yang mendampingi para peserta dalam diskusi juga membagikan berbagai informasi terkait dengan seluk beluk mahasiswa difabel yang selama ini menjadi dampingan PLD.
PLD memanfaatkan momen ini untuk berkomunikasi dan menjalin kerjasama lebih lanjut dengan para dosen, termasuk meminta masukan tentang program-program yang bisa dikembangkan PLD. Salah satunya adalah pelatihan Bahasa Isyarat untuk para dosen. "Kami tidak menduga, dan selama ini kami salah, bahwa para dosen ternyata sangat berminat belajar bahasa isyarat. Usulan agar kami menyelenggarakan bahasa isyarat itu muncul sebagai rekomendasi terpopuler dari FGD itu," kata Arif Maftuhin, kepala PLD.
Kasus pelatihan bahasa isyarat hanyalah salah satu saja dari 'temuan' menarik di forum ini. Temuan lain adalah adanya pandangan yang merata di kalangan dosen bahwa selama ini ada bentuk-bentuk disabilitas yang terabiakan oleh sistem pendidikan kita. Misalnya, disabilitas piskologis.
Ketika para dosen berbicara tentang bagaimanakah memeperlakukan tugas bagi mahasiswa difabel dan non-difabel, muncullah pertanyaan apakah membedakan itu adil? Bu Ro'fah, mantan direktur PLD yang juga menjadi fasilitator, lalu mengisahkan bagaimana teman kuliahnya dulu di McGill mendapatkan tenggang waktu mengumpulkan tugas yang lebih lama dari mahasiswa lain. "Orang yang menderita kecemasan akut dan tidak bisa mengumpulkan tugas tepat waktu, selagi ia telah memperoleh asesmen dari Disability Office, ia akan mendapatkan dispensasi berdasarkan disabilitas psikologis [kecemasan]nya itu. Kita?" kata Bu Ro'fah.
Artinya, untuk menjadi universitas yang manusiawi dan world class university hal-hal seperti itu harus kita masukkan dalam agenda pengembangan universitas, dan tentu saja PLD -- agar tidak hanya mengurusi disabilitas fisik.
"Hasil-hasil FGD akan kami bukukan dan menjadi tambahan buku tentang penyelenggaraan kampus inklusi yang pernah kami terbitkan tahun 2010." Ungkap Bu Jamil, ketua panitia. Tentu, hasil FGD itu ditunggu banyak pihak ya Bu.
0 comments