Coffeebility,
featured
Design for Dream: Membangun Mimpi bersama Crowdhelping
6:43 AM Raisa 0 Comments
Senin (15/10/2018), Irvandias Sanjaya, seorang
mahasiswa sekaligus CEO Design for Dream mengisi Monthly Coffeebility
edisi Oktober bertema “Design for Dream: Membangun Mimpi bersama
Crowdhelping”. Sebutan social entrepeneur layak disandang oleh pemuda
yang masih berusia 23 tahun ini. Ia mempunyai passion dalam dunia difabel,
selain psikologi. Diskusi ini dibuka oleh Bu Mimin sebagai representasi dari PLD dan dimoderasi oleh Husnil Khatimah NST. Diskusi berjalan mulai jam 1 siang hingga 3 sore, bertempat di kantor PLD.
Design
for Dream (DfD) merupakan sebuah startup
yang didirikan tahun 2017. Menurut penuturan Dias, sapaan akrab Irvandias
Sanjaya, proses penggodokan Design for
Dream (DfD) sudah berlangsung tiga tahun sebelumya.
Ia rutin mengunjungi Binasiwa di Bantul tiap bulan sekali selama kurun waktu
tersebut. Dias sendiri datang ke tempat itu dan mengamati apa kiranya akar
masalah dari dunia difabel. Ia melihat bahwa di Binasiwa kerap dijadikan tempat
inkubasi pemberdayaan difabel, akan tetapi kebanyakan tidak berkelanjutan. Dari
observasi tersebut Dias meihat peluang untuk memberdayakan difabel melalui
sebuah platform perusahaan profit yang kelak diberi nama Design for
Dream (DfD).
Design
for Dream (DfD) menawarkan bantuan berkelanjutan berupa uang kepada para
difabel yang ingin mengembangkan diri. Perusahaannya akan
membina/mengawasi/menindaklanjuti bantuan tersebut. Jika dirasa mulai
berkembang, perusahaannya akan memberikan bantuan lanjutan. Selain itu, Design
for Dream (DfD) juga membantu mempromosikan produk hasil kerajinan para
difabel di website designfordream
Dias berkelakar bahwa perusahaan yang diberi nama “Design” ini kerap disalahartikan sebagai
biro percetakan hingga menerima layanan jasa pembuatan CV.
Dias mengutarakan bahwa sebagai seorang social entrepreneur ada beberapa hal yang perlu dperhatikan, yakni
sebelum menciptakan startup, ia harus mengerti betul pokok permasalahan. Bagi
Dias, ada dan berkembangnya Design for Dream (DfD) ini menunjukkan bahwa idenya dibutuhkan oleh
para difabel yang ingin berdaya dan para donator yang ingin berderma.
Dias juga menegaskan bahwa difabel merupakan subjek dalam Design
for Dream (DfD), bukan objek. Para difabel merupakan subjek
dalam mencapai perubahan itu sendiri.
Ia bercerita tidak mudah untuk menjadi wirausaha,
bahkan banyak yang meragukan niat awalnya, termasuk orangtua. Tetapi ia
membuktikan
bahwa kekhawatiran orangtuanya tidak beralasan. Ia membuktikannya dengan
berkarya. Isu sosial yang digeluti membuahkan hasil. Design for Dream mulai
dikenal sebagai salah satu perusahaan .
Erwin, sahabat Dias, merupakan alasan mengapa ia merasa perlu
menggalang donasi untuk mendukung minat Erwin dalam bidang pengembangan IT . Dengan donasi
yang terkumpul, Erwin dibelikan laptop sebagai sarana ia mengembangkan minat
tersebut.
Ia juga menceriterakan seorang difabel bernama Mbak Susan, pembuat batik.
DfD berhasil mngumpulkan uang sejumlah 14.000.000 selama 3 minggu. Uang tersebut digunakan untuk mengembangkan produksi batik. Hasilnya
cukup signifikan, jika sebelumya mereka menjual 50 dalam setahun, setelah DfD
menyalurkan donasi sekaligus mempromsikan di website mereka, mereka dapat
menjua hingga 700 buah dalam setahun.
Mengacu pada konsep hybrid dalam sosial enterprise, Dias menegaskan
bahwa ia sebagai CEO harus dapat memberdayakan 5 karyawannya dahulu, sebelum
bisa mengelola bisnis ini secara profesional. “business comes first, impact later”, terangnya.
Konsep Crowdfunding, e-commerce, dan social media merupakan strategi Design for Dream (DfD) dalam melebarkan sayapnya. Tidak kurang, DfD sudah bekerja
sama dengan beberapa perusahaan besar lainnya. DfD membuka seluasnya aspirasi sekaligus inspirasi
tentang pemberdayaan difabel di
lingkungan sekitar kita. DfD dibutuhkan oleh difabel utamanya dalam pemberdayaan ekonomi.
Di akhir-akhir penjelasan Dias, terlihat bahwa
ilmu psikologi yang didapatkannya dari bangku kuliah turut membentuk perspektif
daam mengelola perusahaannya. Ia menerangkan tentang
konsep dua tangan, segitiga hedgehog, dan bottom
up approach yang diterapkannya selama ini.
"Startup menawarkan kebebasan, fleksibilitas, dan kesenangan yang
tiada taranya bagi mereka yang ingin mandiri dan tidak ingin terkungkung dalam
aturan ketat pekerjaan kantor pada umumnya.", terang Dias.
Dalam start
up semua ide itu murah. Berubah mahal kalau terlaksana. Berevolusi
jadi tak ternilai kalau berkelanjutan.
(Irvandias Sanjaya)