Terkini di PLD:
Loading...
,

Design for Dream: Membangun Mimpi bersama Crowdhelping











Senin (15/10/2018), Irvandias Sanjaya, seorang mahasiswa sekaligus CEO Design for Dream mengisi Monthly Coffeebility edisi Oktober bertema “Design for Dream: Membangun Mimpi bersama Crowdhelping”. Sebutan social entrepeneur layak disandang oleh pemuda yang masih berusia 23 tahun ini. Ia mempunyai passion dalam dunia difabel, selain psikologi.  Diskusi ini dibuka oleh Bu Mimin sebagai representasi dari PLD dan dimoderasi oleh Husnil Khatimah NST. Diskusi berjalan mulai jam 1 siang hingga 3 sore, bertempat di kantor PLD.

Embrio Design for Dream (DfD) dimulai ketika Dias melihat peluang betapa tingginya animo para donatur untuk membantu para difabel untuk mengembangkan dirinya. Design for Dream (DfD) menjadi medium untuk menyalurkan bantuan bagi difabel.

Design for Dream (DfD) merupakan sebuah startup yang didirikan tahun 2017. Menurut penuturan Dias, sapaan akrab Irvandias Sanjaya, proses penggodokan Design for Dream (DfD) sudah berlangsung tiga tahun sebelumya. Ia rutin mengunjungi Binasiwa di Bantul tiap bulan sekali selama kurun waktu tersebut. Dias sendiri datang ke tempat itu dan mengamati apa kiranya akar masalah dari dunia difabel. Ia melihat bahwa di Binasiwa kerap dijadikan tempat inkubasi pemberdayaan difabel, akan tetapi kebanyakan tidak berkelanjutan. Dari observasi tersebut Dias meihat peluang untuk memberdayakan difabel melalui sebuah platform perusahaan profit yang kelak diberi nama Design for Dream (DfD).

Design for Dream (DfD) menawarkan bantuan berkelanjutan berupa uang kepada para difabel yang ingin mengembangkan diri. Perusahaannya akan membina/mengawasi/menindaklanjuti bantuan tersebut. Jika dirasa mulai berkembang, perusahaannya akan memberikan bantuan lanjutan. Selain itu, Design for Dream (DfD) juga membantu mempromosikan produk hasil kerajinan para difabel di website designfordream

Dias berkelakar bahwa perusahaan yang diberi nama “Design” ini kerap disalahartikan sebagai biro percetakan hingga menerima layanan jasa pembuatan CV.

Dias mengutarakan bahwa sebagai seorang social entrepreneur ada beberapa hal yang perlu dperhatikan, yakni sebelum menciptakan startup, ia harus mengerti betul pokok permasalahan. Bagi Dias, ada dan berkembangnya Design for Dream (DfD) ini menunjukkan bahwa idenya dibutuhkan oleh para difabel yang ingin berdaya dan para donator yang ingin berderma.

Dias juga menegaskan bahwa difabel merupakan subjek dalam Design for Dream (DfD), bukan objek. Para difabel merupakan subjek dalam mencapai perubahan itu sendiri.

Ia bercerita tidak mudah untuk menjadi wirausaha, bahkan banyak yang meragukan niat awalnya, termasuk orangtua. Tetapi ia membuktikan bahwa kekhawatiran orangtuanya tidak beralasan. Ia membuktikannya dengan berkarya. Isu sosial yang digeluti membuahkan hasil. Design for Dream mulai dikenal sebagai salah satu perusahaan .

Erwin, sahabat Dias, merupakan alasan mengapa ia merasa perlu menggalang donasi untuk mendukung minat Erwin dalam bidang pengembangan IT . Dengan donasi yang terkumpul, Erwin dibelikan laptop sebagai sarana ia mengembangkan minat tersebut.

Ia juga menceriterakan seorang difabel bernama Mbak Susan, pembuat batik. DfD berhasil mngumpulkan uang sejumlah 14.000.000 selama 3 minggu. Uang tersebut digunakan untuk mengembangkan produksi batik. Hasilnya cukup signifikan, jika sebelumya mereka menjual 50 dalam setahun, setelah DfD menyalurkan donasi sekaligus mempromsikan di website mereka, mereka dapat menjua hingga 700 buah dalam setahun.

Mengacu pada konsep hybrid dalam sosial enterprise, Dias menegaskan bahwa ia sebagai CEO harus dapat memberdayakan 5 karyawannya dahulu, sebelum bisa mengelola bisnis ini secara profesional. “business comes first, impact later”, terangnya.

Konsep Crowdfunding, e-commerce, dan social media merupakan strategi Design for Dream (DfD) dalam melebarkan sayapnya. Tidak kurang, DfD sudah bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar lainnya. DfD membuka seluasnya aspirasi sekaligus inspirasi tentang pemberdayaan difabel di lingkungan sekitar kita. DfD dibutuhkan oleh difabel utamanya dalam pemberdayaan ekonomi.

Di akhir-akhir penjelasan Dias, terlihat bahwa ilmu psikologi yang didapatkannya dari bangku kuliah turut membentuk perspektif daam mengelola perusahaannya. Ia menerangkan tentang konsep dua tangan, segitiga hedgehog, dan bottom up approach yang diterapkannya selama ini.

"Startup menawarkan kebebasan, fleksibilitas, dan kesenangan yang tiada taranya bagi mereka yang ingin mandiri dan tidak ingin terkungkung dalam aturan ketat pekerjaan kantor pada umumnya.", terang Dias.

Dalam start up semua ide itu murah. Berubah mahal kalau terlaksana. Berevolusi jadi tak ternilai kalau berkelanjutan. (Irvandias Sanjaya)




Kabar terkait ...

0 comments