Hari Rabu (11/02) yang lalu Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Forum Sahabat Inklusi (Forsi) mengadakan kegiatan rutin “Pembekalan Relawan Semester Genap.” Kegiatan bertempat di Ruang Rapat IV Rektorat Lama UIN Sunan Kalijaga dan dihadiri oleh para relawan lama maupun baru dan mahasiswa difabel. Kegiatan bertujuan untuk mengenalkan PLD UIN Sunan Kalijaga, difabel, Forsi, dan program kerelawanan PLD kepada para relawan baru.
Acara dimulai dengan sambutan dari ketua Forsi Mustar Judin yang memaparkan sejarah berdirinya Forsi. Sekitar Mei 2014 sahabat-sahabat inklusi mencetuskan ide membentuk sebuah forum bagaimana mengakrabkan antar sesama relawan dan difabel. Sekarang Forsi memiliki 60 anggota dengan programnya yaitu training Bahasa Indonesia bagi mahasiswa difabel rungu dan pelatihan komputer bagi mahasiswa difabel netra setiap hari Sabtu.
Acara dilanjutkan dengan pembukaan dari Kepala Pusat Layanan Difabel Arif Maftuhin, yang diawali dengan ucapan selamat datang kepada para relawan baru. Dalam sambutannya Arif menjelaskan PLD berusaha membantu para mahasiswa difabel untuk membuka diri. PLD memberikan layanan admisi, perkuliahan, aksesibilitas hingga taraf advokasi. Namun, PLD juga sempat mengalami dilema, apakah mahasiswa difabel itu harus dilayani atau mendorong mereka untuk menjadi mandiri? Pertanyaan ini sering menjadi bahan perdebatan internal. Jawabannya adalah PLD berada di tengah-tengah keduanya, “jangan sampai memanjakan difabel, tetapi jangan juga cuek,” ungkap Arif. PLD menempatkan diri di tengah-tengah kedua permasalahan tersebut. Keberadaan PLD membantu memberikan layanan dalam proses menuju kemandirian mahasiswa difabel.
Diskusi pengenalan difabel diisi oleh Manajer Program Kajian PLD Astri Hanjarwati yang dimoderatori oleh Ardiyantika. Diskusi diawali dengan pembagian kelompok diskusi masing-masing berjumlah 4 anggota. Setiap kelompok mengidentifikasi mahasiswa difabel sekaligus kebutuhan akses pembelajarannya di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa difabel UIN terdiri atas tunanetra, tunarungu-wicara, dan tunadaksa. Setelah melakukan identifikasi kemudian didiskusikan bersama. Selain itu, Astri juga memaparkan berbagai kisah sukses para difabel. Ibu Juniati Efendi mahasiswa tunarungu yang menempuh studi Kedokteran Gigi, Mbak Galuh mahasiswa tunarungu yang menempuh Pendidikan Psikologi UGM, menempuh S2 di Melbourne University, dan Ibu Rahmita Harahap berprofesi sebagai dosen.
Pertanyaan muncul dari Arifin, mengapa peraturan di UIN masih banyak yang bertentangan dengan struktur UIN sebagai kampus inklusif? Astri menjawab PLD berangkat dari keprihatinan para dosen. Sebelum memproklamirkan sebagai kampus inklusif, tahun 80’ sudah menerima mahasiswa difabel netra. Maka PLD ada untuk menyadarkan kepada seluruh stakeholder kampus UIN Sunan Kalijaga bahawa isu-isu difabel perlu mendapat perhatian.
Sesi berikutnya Manajemen Kerelawanan yang diisi oleh Siti Aminah, Manajer Program Relawan PLD. Diskusi diawali dengan pemaparan permasalahan, “Apa yang akan dilakukan ketika melihat teman difabel duduk sendiri, sedangkan teman yang lain asyik bercengkrama? Apa yang akan dilakukan ketika melihat tunarungu duduk paling belakang? Tidak perlu ragu untuk segera membantu, dicoba terus. Apa yang akan dilakukan Ketika staf PLD meminta untuk mendampingi tetapi kita tergesa-gesa? Mencari pengganti, jika benar-benar tidak ada penggantinya akan diusahakan untuk bisa mendampingi.”
Diskusi menjadi lebih hidup saat memasuki tanya jawab permasalahan relawan dan difabel di lapangan. Ditemukan tidak semua mahasiswa difabel rungu mendapat pendampingan. Masalah lain relawan baru membimbing jawaban ujian difabel netra, ketika ujian TOEC difabel netra meminta tolong untuk mengerjakan tes. Meskipun hanya memberikan arahan jawaban, dalam etika kerelawanan tindakan tersebut tidak diperbolehkan, karena tugas relawan adalah menggantikan mata mereka. Tidakan sejenis juga tidak diperbolehkan semisal difabel hendak mencontek atau meminta relawan mengada-adakan jawaban agar lembar jawaban penuh. Tugas relawan meluruskan bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan. Walaupun ujiannya bersifat open book, relawan harus bisa mengolah sikap bagaimana cara membacakan disertai wanti-wanti agar tidak memberikan jawaban. Masalah lainnya yaitu kurangnya rasa empati relawan. Pada dasarnya empati bukan sekadar rasa kasihan, tapi juga adanya tindakan.
Selain membekali diri dengan etika kerelawanan, para relawan juga diharapkan dapat membekali dirinya dengan berbagai ketrampilan, seperti cara menyapa difabel netra, cara mengandeng, ketrampilan pendampingan, reading service usahakan agar tidak mengganggu orang lain, asistensi perpustakaan, serta mencari solusi trial and error. Siti Aminah juga memaparkan alur tugas relawan dengan memperhatikan pakaian dan tanda pengenal, contoh sikap dan perilaku, berpamitan pada pengawas saat ujian, cara melakukan pendampingan profesional, serta memfungsikan tongkat ketika menggandeng tunanetra lawan jenis. Siti Aminah berpesan kepada relawan yang hadir, “Niatkan untuk aktualisasi diri, bukan hanya menggali untuk diri sendiri, serta harus berkomitmen.”
Sesi terakhir diisi dengan sosialisasi jurnal relawan dan pembagian koordinator relawan tiap-tiap fakultas yang dipandu oleh Jamil Suprihatiningrum, Manajer Program Pendidikan Inklusi PLD. Jurnal berfungsi sebagai alat monitor kegiatan kerelawanan. Dalam jurnal tersebut relawan harus mengisi bentuk pendampingan yang dilakukan setiap harinya, menulis catatan pendampingan, serta mencantumkan nama mahasiswa difabel yang didampingi. (IIS)
0 comments