Coffeebility,
featured
Difabel dalam Film
Kamis (22/11/2018), PLD kembali
mengadakan Monthly Coffeebility dengan tema “Difabel dalam Film”.
Diskusi sekaligus pemutaran film ini diadakan di Teatrikal Perpustakaan UIN
Sunan Kalijaga pukul 13.00-15.00. Diskusi ini dihadiri oleh Bagus Muhammad Ma’ruf,
kameran film “Luar Biasa” dan Wahyu Utami Wati, sutradara film “The Unseen
Words”. Peserta diajak untuk menonton kedua film tersebut setelah
sebelumnya Kepala PLD, Arif Maftuhin, memberikan sambutan. Diskusi ini
dimoderasi oleh Husnil Khatimah Nst.
Tak tanggung-tanggung, dua film
diputar dalam diskusi ini. Film pertama berjudul “Luar Biasa”. Film dokumenter
tersebut dibesut oleh mahasiswa jurusan TV dan film ISI Surakarta. Film
tersebut mengangkat keseharian seorang Joko, difabel netra. Dikisahkan,
Joko mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Ia tidak segan untuk mencoba hal-hal
baru, mulai dari bermain musik hingga mengendarai motor. Film berdurasi 16
menit tersebut menyuguhkan humor yang mengundang tawa penonton.
Film kedua berjudul “The
Unseen Words” garapan sutradara Wahyu Utami Wati mengisahkan tentang usaha
Distra Budaya, sebuah komunitas pertunjukan ketoprak di Yogyakarta. Distra Budaya
terdiri dari difabel netra yang menunjukkan eksistensinya lewat seni
ketoprak. Mereka sadar bahwa pertunjukannya tidak terlalu mendapat banyak
peminat. Melihat betapa masifnya perkembangan teknologi, mereka ingin
pertunjukkan mereka dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Film ini berfokus
pada bagaimana cara Distra Budaya mempersiapkan video pertunjukkan mereka untuk
direkam dan diunggah di kanal Youtube. Aluanan tembang Jawa mewarnai sebagian
besar jalan cera yang berdurasi 27 menit.
Seperti yang telah ditegaskan
oleh Arif Maftuhin, untuk mewujudkan kampus inklusif tidak cukup hanya
memberikan pelayanan kepada difabel. Akan tetapi, kampus inklusif juga harus
terus-menerus mengedukasi dan meningkatkan kesadaran warga kampus mengenai
difabel. Salah satu upaya tersebut adalah mengadakan diskusi “Monthly
Coffeebility”. Di sisi lain, film dapat digunakan sebagai saluran untuk
memperkenalkan difabel kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, perpaduan film
dan difabel dinilai sangat tepat.
Upaya sineas muda, seperti Ma’ruf
dan Uut—panggilan akrab Wahyu Utami Wati—dengan mengangkat film bertema difabel
harus diapresiasi. Mengingat, film merupakan media yang banyak diminati oleh
berbagai kalangan dan cukup efektif dalam menyampaikan sebuah pesan. Isu difabel
dapat digaungkan melalui film. Dengan adanya film bertema difabel diharapkan
masyarakat mengenal difabel, kemudian pada akhirnya, sadar akan difabel. Lebih
lanjut, disabilitas bukan lagi dilihat sebagai sebuah ketidakmampuan (disability),
namun hanya perbedaan (differently able).
0 comments