Disabilitas dalam Bingkai Agama-agama: PLD UIN Sunan Kalijaga Gelar Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education (ICODIE) ke-5
LP2M - (1/12/2022) Memperingati Hari Difabel Internasional 2022, Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijga kembali menggelar Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education (ICODIE). Ini adalah tahun ke-lima ICODIE. Tahun ini, ICODIE mengusung tema Disabilitas dalam Sudut Pandang Agama-agama. Acara dilaksanakan di Convensional Hall (Gedung Prof. Soenarjo) dan disiarkan secara daring melalui kanal Youtube LP2M UIN Sunan Kalijaga. Acara dibuka dengan sambutan-sambutan yang disampaikan oleh Kepala LP2M UIN Sunan Kalijaga, Kepala PLD, dan penampilan kelompok paduan suara mahasiswa relawan difabel Gita Divana, yang memadukan suara dengan bahasa isyarat dengan membawakan lagu daerah Tapanuli berjudul Sigolempong.
Dr. Astri Hanjarwati, S.Sos., M.A, selaku kepala PLD, mengawali sambutan dengan menghaturkan terima kasih dan apresiasi kepada pihak-pihak yang telah mendukung program-program PLD, termasuk acara konferensi ICODIE ke-5 ini. “Mewakili PLD, saya mengucapkan terima kasih sekali atas dukungan yang telah diberikan oleh Universitas, para pimpinan LP2M, staf LP2M, para tim ahli PLD, relawan PLD, semua mahasiswa difabel, dan relawan difabel, yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran sehingga hajatan peringatan besar kita hari ini bisa berjalan dengan lancar."
Kepala LP2M UIN Sunan Kalijaga, Muhrisun Afandi, M.S.W., Ph.D., dalam sambutannyamenghaturkan syukur dan apresiasi yang besar atas terselenggaranya acara konferensi ICODIE yang ke-5 ini. Muhrisun menyatakan bahwa konferensi ini merupakan salah satu wujud dari upaya mengkampanyekan pendidikan inklusi di lingkungan universitas dan pubik.
“Salah satu tujuan utama dari digelarnya event ini adalah sebagai selebrasi dan apresiasi untuk kerja keras yang dilakukan oleh teman-teman PLD dan semua sivitas akademik UIN Sunan Kalijaga atas kerja kerasnya dalam mengkampanyekan pendidikan inklusi di UIN dan di masyarakat. Kemudian adalah sebagai ajang recharging atau mengisi kembali semangat kita, karena tiap tahun perjuangan kita mempromosikan layanan inklusif belum berhenti. Selalu ada kekurangan di sana sini. Dari tahun ke tahun kita evaluasi ada saja yang masih belum sempurna, dan untuk untuk kita akan benahi.”
Muhrisun bercerita, pendirian PLD pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai pusat struktural universitas, melainkan lahir dari kepeduliannya dan para kolega terhadap pentingnya mengupayakan pendidikan yang inklusif untuk mahasiswa difabel. Ini, menurutnya tidak mudah karena waktu itu belum ada yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang cukup mengenai pendidikan bagi mahasiswa difabel. Hanya ada tekad dan keinginan untuk memberikan layanan pendidikan tinggi yang inklusif.
“Dulu ketika menginisiasi PLD inikita tidak membayangkan akan menjadi seperti sekarang ini. Kita dulu menginisiasi PLD itu semata-mata karena butuh. Kita punya mahasiswa difabel, kemudian kita tidak tahu bagaimana cara mengajar mahasiswa difabel. Kita belajar kemudian kita mendirikan itu. Kita tidak ada kepikiran mau membuat PLD menjadi lembaga struktural, apalagi menjadi diapresiasi seperti sekarang ini. Perlu disampaikan, perjuangan kita sangat berat sekali. Tidak punya ilmu, tidak punya pengalaman… semangat saja yang kita punya. Tantangannya luar biasa. Sampai sekarang, saya tidak pernah meyebut diri saya sebagai ahli disabilitas atau pendidikan inklusi. Saya tetap relawan PLD.”
Ia menambahkan, dalam mengkampanyekan pendidikan inklusif, mindset yang digunakan harus mindset kolaborasi, bukan kompetisi. Oleh karena itu, penting bagi PLD untuk berjejaring dan bekerja sama dengan pusat layanan difabel di kampus-kampus lain, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan inklusif.
“Kita memang perlu berjejaring. Tidak ada saing-saingan dalam mengupayakan pendidikan inklusi. Penting bagi kita untuk bersinergi dan berjejaring dalam pendidikan inklusi. Universitas dan lembaga-lembaga terkait harus turut bekerja keras bersama.”
Karena tema yang diangkat adalah Disabilitas dalam Sudut Pandang Agama-agama, ICODIE kali ini menghadirkan narasumber-narasumber yang menyuarakan pandangan agama-agama dalam memahami disabilitas. Mereka adalah, Drs. I Nyoman Warta, M.Hum. Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PHDI-DIY) yang memaparkan materi disabilitas dalam pandangan agama Hindu. Materi kedua disampaikan oleh Bhikkhu Tri Saputra Medhacitto, Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra, Semarang. Bhikku Tri memapakan materi disabilitas dalam pandangan agama Buddha.
Selanjutnya ialah Pdt. Simon Julianto, S.Th., M.Si., selaku kepala Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) Yogyakarta dengan materi disabilitas dalam pandangan agama Kristen. Materi terakhir disampaikan oleh Dr. Bahrul Fuad, M.A., sebagai Komsioner Komnas Perempuan, tentang pandangan agama Islam terhadap disabilitas.
Menurut ketua panitia ICODIE, Dr. Asep Jahidin, M.Si., acara ini mendapatkan antusiasme yang luar biasa dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia. Dari banyak sekali artikel yang masuk, panitia menyeleksi 16 artikel untuk dipresentasikan di panel-panel konferensi. Panel pertama mengangkat persoalan Disabilitas dan Pendidikan-Sosial; panel kedua mengenai Disabilitas dalam Berbagai Perspektif; panel ketiga tentang Disabilitas dan Hak Warga Negara; panel terakhir Disabilitas dalam Komparasi Agama. Masing-masing panel diwarai oleh Jamil Suprahatiningrum, Ph.D., Siti Aminah, M.Si., Abidah Muflihati, M.Si., dan Meta Puspitasari, M.A. Acara dipandu oleh Abdullah Fikri S.H.I., M.Si, Dosen UPN Veteran Surabaya. Fikri adalah alumni UIN Sunan Kaljaga dan aktif dalam kegiatan-kegiatan PLD UIN Sunan Kalijaga. Konferensi akan dilaksanakan selama empat hari (1-4 Desember 2022)dan dipungkasi dengan acara jalan sehat memperingati Hari Difabel Internasional 2022 (LP2M, 2022).
0 comments