Terkini di PLD:
Loading...

Memahami Inklusi

Semakin sering saya melayani wawancara (wartawan, peneliti, mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas kuliah) semakin sering saya mendengar pertanyaan semisal ini, "Pak, kalau jumlah difabelnya sudah banyak apa akan dibuka kelas khusus?" Atau, "Berapakah tenaga dosen terlatih yang khusus mengajari mereka?" Atau, kalau si penanya dari kampus lain, "Universitas kami juga inklusi, karena kami punya mahasiswa difabel."

Maka setiap kali pertanyaan itu muncul, saya harus segera menjawab dengan ilustrasi yang menurut saya sederhana agar sesuatu yang sesungguhnya rumit, filosofis, dan ideologis bisa segera dipahami dengan mudah oleh para penanya saya.
Saya: "Anda pernah dengar bahwa di Indonesia seorang penyandang buta warna tidak dapat memperoleh SIM? Mengapa mereka tidak boleh punya SIM?"
Penanya, "Karena dianggap tidak akan mampu membedakan rambu dan lampu lalu lintas."
Saya: "Jadi, kalau saya ubah pertanyaannya dengan lebih keras, salah siapa kalau mereka tidak bisa membedakan lampu lalu lintas?" 
Biasanya, setelah saya ajukan pertanyaan semacam suasananya menjadi hening. Seolah ada protes, "Ya jangan begitu Pak tanyanya... jangan tanya siapa yang salah... kan aturan itu demi keselamatan orang banyak juga..." Atau, mungkin ada yang diam tapi menjawab, "Salahnya si buta warna. Aturannya sudah benar."

Bagi kami di PLD, kesalahan tidak pada si buta warna, tetapi pada aturan dan rambu lalu lintasnya! Saya gembira sekali ketika tahun lalu saya menemukan pembenar bagi pandangan kami itu di tempat saya belajar advokasi di Nova Scotia, Canada. Lampu merah di sana dibuat agar ramah bagi penyandang buta warna (lihat gambar di bawah!)



Dalam ideologi inklusi, struktur sosial-lah yang menyebabkan difabilitas, buka si individu. Kalau ada pengguna kursi roda tidak bisa kuliah di lantai dua, bukan salah si pengguna kursi roda, tapi salah bangunan yang dibuat berlantai dua dan tidak menyediakan akses untuk pengguna kursi roda.

Cara pandang ini yang juga kami pakai untuk melihat struktur ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan. Segala hambatan terhadap ilmu pengetahuan dan proses pendidikan bersumber dari struktur sosial yang, dalam istilah para aktifis gerakan difabel, 'bias normal'. Ketika bangunan ilmu dan pendidikan dibangun dengan kacamata eksklusif orang normal, maka strukturnya akan melahirkan difabilitas-difabilitas.

Dan itu artinya, menerima mahasiswa difabel saja, apalagi dengan menempatkan mereka di kelas khusus atau program khusus, bukan cara inklusi! Jelas, kelas khusus adalah kelas eksklusi, just to exclude them from the rest!

Karena itu kami selalu sadar, 100 %, bahwa melawan struktutur sosial tak pernah menjadi pekerjaan mudah. Kaum Marxis mungkin dapat menjadi inspirasi, tetapi kami memilih untuk tidak terinspirasi dan mencoba jalan kami sendiri dalam melakukan perubahan struktural dan radikal. Menurut Anda?


Kabar terkait ...

0 comments