Terkini di PLD:
Loading...
,

Montlhy DisabiliTea April: Mobilitas Difabel dan Aksesibilitas Transportasi

Tumben... foto bareng :)
Yogyakarta (16/04), sebuah kota dikatakan inklusi apabila kota itu mampu mengakomodir semua kebutuhan masyarakat, yang di dalamnya termasuk para difabel. Di Indonesia sudah ada beberapa kota yang mengklaim sebagai kota inklusi, misalnya kota Solo. Dalam perjalanannya kota tersebut menamakan diri sebagai kota inklusi hanya karena sudah memiliki sekolah-sekolah inklusi, belum melingkupi semua bidang. Salah satu aspek penting sebuah kota inklusi adalah adalah masalah aksesibilitas. Kemudahan akses transportasi pun menjadi salah satu indikator kota yang nyaman dan ramah difabel. Trans Jogja (TJ) di Kota Yogyakarta bisa menjadi salah satu indikator kota ramah difabel. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga (PLD) Arif Maftuhin dalam pembukaan diskusi bulanan PLD yang bertajuk Mothly DisabiliTea yang bertema “Identifikasi Kemudahan Penyandang Difabilitas dalam Melakukan Pergerakan dengan Menggunakan Moda Transportasi di Kota Yogyakarta,” dengan pembicara Setiasa Alumni mahasiswa Universitas Gajah Mada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.
Setiasa mengawali diskusi dengan menjelaskan latar permasalahan penelitiannya. Kita ketahui difabel memiliki kebutuhan khusus untuk melakukan pergerakan transportasi. Sehingga dibutuhkan keadilan dalam mengakses transportasi untuk mendukung kemandirian mereka dalam beraktivitas. Untuk mendukung itu dibutuhkan moda transportasi yang aksesibel sehingga difabel dapat beraktivitas secara mandiri. Kota Yogyakarta terpilih sebagai kota ternyaman versi IAP melalui penilaian Indonesia Most Livable City Index tahun 2009 dan 2011. Apakah kota yang dinobatkan sebagai kota ternyaman itu juga nyaman bagi masyarakat difabel? Berdasarkan permasalahan tersebut Setiasa ingin mengetahui dan mengamati seperti apa para difabel dalam bertransportasi serta melakukan pergerakan dengan kondisi mereka.
Penelitian yang menggunakan metode pngumpulan data wawancara itu menemukan empat topik pembahasan: Tipologi moda transportasi bagi difabel di Kota Yogyakarta, fasilitas pelayanan angkutan umum yang belum memadai bagi penumpang difabel, aspek legalitas (perijinan) bagi pengendara difabel, dan ragam perjalanan difabel.  Hasilnya menunjukkan belum ada kemudahan bagi para difabel dalam melakukan pergerakan dengan menggunakan moda transportasi di Kota Yogyakarta. Hambatan fisik masih ditemui seperti ramp yang masih curam bagi pengguna kursi roda, jarak antara shelter dan bus yang masih renggang saat menaikkan atau menurunkan penumpang, dan tidak semua bus dilengkapi dengan tempat khusus difabel. Kemudian aspek pelayanan petugas terhadap penumpang difabel di antaranya kurangnya sikap ramah dari petugas Trans Jogja maupun angkutan umum, penolakan penumpang difabel oleh angkutan umum, dan supir bus yang terlalu terburu-buru sehingga kurang memperhatikan keselamatan penumpang difabel saat menyeberang dari shelter ke bus.
Peneliti juga membahas aspek legalitas (ijin) berkendara bagi difabel, yakni pengeluaran SIM D (khusus) bagi difabel oleh pemerintah berdasarkan UU no. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Pemerintah juga melakukan penyetaraan SIM C bagi calon pengendara difabel berdasarkan syarat pembuatan SIM yang telah ditetapkan. Menindaklanjuti aturan tersebut beberapa waktu yang lalu teman-teman difabel daksa dari Bantul mendatangi kepolisian untuk meringankan syarat pembuatan SIM C. Pembahasan terakhir ditemukan ragam perjalanan difabel seperti dari rumah menuju shelter, perjalanan menuju pasar, menuju kegiatan sosial dan kampus.
Diskusi dilanjutkan dengan sharing  antara pembicara dan peserta. Tris Munandar mahasiswa difabel netra berbagi pengalamannya, “Saya kira tunanetra sendiri sudah dibekali dengan Orientasi Mobilitas (OM). Sehingga kondisi jalan bisa dikenali yang dapat menjadikan diri kita lebih mandiri. Menurut saya TJ sudah cukup aksesibel. Namun seperti yang tadi, banyak dari pegawai yang mengabaikan. Mungkin di training sudah diajarkan, tapi kenyataan seringkali menjadikan TJ tidak aksesibel. Contoh: jarak masih jauh sehingga tunanetra sering kejeblos, dan penjaga halte tidak mau disalahkan. Difabel sendiri tersinggung karena pegawai ga ada bekal OM sehingga melakukan kesalahan seperti mendorong, menarik, dsb, tapi mereka tidak terima dan akhirnya terjadi cekcok. Sehingga harus dilerai orang lain. Jadi perlu disosialisasikan kepada pegawai terkait pelayanan. Mungkin lebih bagus bis kota meskipun tidak mengetahui teori OM tapi bisa menempatkan diri dan membantu tunanetra. Kalau boleh memilih saya ingin mendapat solusi tunanetra yang dapat mengendarai kendaraan pribadi, karena perbandingan waktunya jauh. Dari Jokteng Wetan ke UIN bisa 1 jam tapi kalau naik motor motor pun 15 menit sampai.
Sejalan dengan Tri Wibowo yang juga mahasiswa difabel netra, ia berpendapat “Saya sudah terbiasa naik transportasi umum di Semarang. Aksesibel transportasi lebih baik di Semarang, mereka lebih menghormati, menyilakan kita untuk duduk, dan  malah menganggap seolah difabel itu raja. Pihak pemerintah lebih peka di Semarang daripada di Yogyakarta. Di semarang lebih baik, tapi di Jogja katanya kota pendidikan tapi kok malah ga terdidik,” jelasnya.
Warkah, mahasiswa difabel rungu UIN Sunan Kalijaga bercerita dia pernah ketinggalan kereta karena tidak bisa mendengarkan suara audio dari pusat informasi. Sehingga ia mengalami kesulitan saat akan naik Kereta Api karena di stasiun belum ada running text yang menggantikan informasi berupa audio. Berbeda halnya ketika ia naik pesawat ada pendampingnya.
Tika, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga berbagi cerita wawancaranya dengan para difabel daksa di bantul. Pasca gempa 2006 penduduk Yogyakarta khususnya Bantul banyak yang menjadi difabel daksa. Dari pengakuan mereka di Bantul baik itu kendaraan umum maupun kendaraan modifikasi masih sulit ditemukan. Para difabel daksa juga merasa kesulitan belajar mengendara kendaraan modifikasi karena merasa tidak mampu. Padahal jika mereka mau belajar manfaatnya akan sangat besar sekali dan mereka bisa melakukan mobilitas secara mandiri. Perlu adanya penyadaran dari pemerintah agar mereka mau belajar. Setiasa menambahkan, mungkin pasca bencana banyak dari mereka yang mengalami trauma sehingga membutuhkan pendampingan dan dukungan riil agar difabel tersebut bisa bangkit lagi.
Mugiarjo mahasiswa UIN Sunan Kalijaga menanyakan sejauh ini banyak yang mengeluhkan dari segi pelayanan, lalu adakah turunan dari penelitian ini tentang aturan dari pemerintah kepada kru-kru transportasi umum agar welcome kepada difabel? Tambahnya, pemerintah mungkin dapat menyediakan nomor aduan.
Setiasa menjawab di penelitian tersebut ia juga sempat mewawancarai UPTD Trans Jogja mengenai permasalahan sarana fisik. Mereka sudah membuka aduan seluas-luasnya sehingga sering mendapat masukan dari masyarakat. “Jika kita search di internet pun sebenarnya sudah menyebar, misalnya di rubrik Opini Kompas dan Koran Sindo. Jika ada kritik dan saran mereka tetap terbuka meskipun belum tahu kapan dan bagaimana kelanjutannya,” jelas Setiasa.
Mugiarjo menimpali penelitian yang dilakukan bagus, dan bisa dijadikan otoritas untuk memberikan masukan ke Dinas Perhubungan di Jogja. “Sejauh ini belum ada tindak lanjut dari penelitian ini, tapi semoga bisa input bagi pemerintah dalam memperbaiki sarana dan pelayanan transportasi di Kota Yogyakarta,” jawab Setiasa.
Tanpa terasa hampir dua jam diskusi pun berjalan. Setelah tidak ada sharing dan tanya jawab lagi Dwik Lestari selaku pemandu acara menutup diskusi, kemudian mempersilakan seluruh peserta berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Acara dilanjutkan dengan ngobrol santai antar peserta sembari menikmati cemilan yang telah disediakan oleh panitia. Syukurlah diskusi kali ini berjalan lancar. Akan disusul dengan Monthly DisabiliTea bulan mendatang, jadi tunggu saja kabar selanjunya dari PLD UIN Sunan Kalijaga (Iis).

Kabar terkait ...

0 comments