Inspirasi
Sunyi tapi Penuh Karya
"Tingkatkan skillmu sampai idolamu menjadi rivalmu." Itulah prinsip hidup seorang Tuli bernama Dhomas Erika Ratnasari. Baginya, keterbatasan tidak menghalanginya untuk berprestasi. Ia tak dapat mendengar; namun, berkat ketekunan berlatih ia pun mampu berbicara. Hanya saja suaranya kecil.
Ketika usianya menginjak bulan kesepuluh, Dhomas mengalami sakit panas yang terus menerus. “Usia 3 tahun, aku divonis tidak dapat mendengar,” ungkapnya. Kedua orang tua Dhomas menerima dengan lapang dada kondisi putri semata wayangnya itu. Terapi wicara menjadi alternatif untuk dapat terbiasa berkomunikasi dengan baik. Karena itulah Dhomas mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir (oral).
Perempuan kelahiran 1 September 1995 ini memiliki hobi menggambar. Memasuki Sekolah Dasar di SLB 2 Bantul (dulu SLB 4 Sewon), orangtua Dhomas mendorongnya untuk mengikuti berbagai ajang perlombaan. Hasilnya sangat menggembirakan. Ia menyabet juara kabupaten hingga provinsi untuk kategori SD. Dhomas sempat bersekolah di Cottingley Primary School di Inggris selama 3 tahun. Hal tersebut dilakukan karena mengikuti Ayahnya yang menyelesaikan PhD di Inggris. Ia sempat kesulitan dalam berkomunikasi karena menggunakan Bahasa Inggris. Seiring berjalannya waktu ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru.
Ketika bersekolah di SMP 2 Sewon Bantul, ia sempat belajar privat dengan seorang guru lukis. Sayangnya ia tidak lagi mendapatkan informasi seputar ajang perlombaan menggambar. “Aku hanya ikut lomba mengarang cerita. Alhamdulillah, Juara 1 tingkat provinsi dapat aku raih”, kenangnya.
Meskipun memiliki keterbatasan dalam pendengaran, orang tua Dhomas memilih menyekolahkan Dhomas di sekolah umum. Hanya di sekolah dasar saja ia berada di sekolah dengan siswa berkebutuhan khusus.
“Sejak SMP dan SMA tidak ada fasilitas penerjemah bahasa isyarat. Tapi teman-teman dan guru-guru di sekolah bisa menyesuaikan dengan keterbatasanku. Mereka berbicara pelan denganku. Yang terpenting aku dapat memahami ilmu yang disampaikan di sekolah,” tuturnya.
Menginjak bangku SMA, prestasinya semakin gemilang dengan menyabet juara 1 melukis tinggat Provinsi, dua kali berturut-turut. Ketika itu juga Dhomas mulai melirik anime (kartun Jepang) dan belajar menekuni bidang tersebut dengan serius. Usai SMA, ia melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mengambil prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS).
“Aku memilih kuliah di UIN Sunan Kalijaga ini karena ada Pusat Layanan Difabel (PLD) yang di dalamnya terdapat fasilitas penerjemah bahasa isyarat. Tidak semua penjelasan dari dosen bisa aku pahami melalui gerakan bibir. Karena itu aku butuh notetaker,” jelasnya lagi.
Di semester 3 perkuliahannya, Ia mulai memberanikan diri membuka jasa menggambar anime untuk para penggemar anime. Mayoritas penggemarnya berasal dari luar negeri. Dalam menawarkan jasa menggambar anime, Dhomas menggunakan website DevianArt. Karya-karyanya juga terdapat di akun Facebooknya.
Dari sinilah bisnis online dimulai. Awal pendapatannya hanya berkisar antara 100 sampai 300 ribu rupiah setiap bulannya. Untuk masing-masing gambar dihargai sesuai dengan tingkat kesulitan gambar yang diinginkan oleh pelanggan. Semakin hari hasil goresan tangan Dhomas diminati banyak pelanggan hingga ia dapat mengantongi 800 ribu setiap bulannya.
“Sekarang aku sedang mencoba inovasi baru dari gambar yang biasa aku buat. Bagus atau tidaknya sebuah karya bisa dilihat dari seberapa banyak pelanggan yang memminta jasa kita. Karena itu aku fokus mengembangkan gaya baru ini,” jelasnya.
Motivasi dan dukungan dari keluarga, kerabat dan teman-temannya membuat Dhomas tumbuh dengan semangat menggapai mimpi-mimpinya. Ia memiliki mimpi untuk dapat membangun suatu bidang usaha. Sehingga ia mampu membantu teman-teman berkebutuhan khusus lainnya dengan memberikan kesempatan berkarya bersaamnya.
“Aku terinspirasi oleh idolaku. Anggie Yudistia dan Dian Inggrawati yang mampu mencapai kesuksesan pada bidangnya masing-masing. Mereka bisa sukses dengan kelebihannya. Aku pun pasti bisa, Aku juga ingin membuat bangga orang tuaku dengan kesuksesanku tentunya” jelasnya lagi.
25 September lalu adalah Hari Tuli Internasional (World Deaf Day). Pusat Layan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan acara pawai simpati berkeliling kampus dengan menyeruakan pendidikan yang setara pada Jumat (30/9). Pendidikan yang setara artinya tidak ada diskriminasi terhadap difabel terutama Tuli. Dhomas berharap Tuli dapat diakui dan diterima di masyarakat.
“Kalau bisa, tiap sekolah dan universitas memiliki layanan juru bahasa isyarat. Karena itu sangat membantu aku dan difabel Tuli lainnya,” tutupnya (faroha).
Salah satu karya Dhomas |
0 comments