Coffeebility
Monthly November: Difabel dan Dampak Perubahan Iklim
Selasa, 5 November 2019, Monthly
Coffeebility mengadakan diskusi
mengenai “Difabel dan Dampak Perubahan Iklim”. Diskusi ini bertempat di Ruang
Teartikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berkesempatan
menghadirkan dua pembicara yaitu, Sholih Muhdior (Koordinator Program di SAPDA)
dan Cheria Naezar (Koordinator Operasi di Human n Inclusion), berlangsung dari
jam 14.00-16.00 WIB. Diskusi ini dimoderasi oleh Vergine Virsta Y (Ossy).
Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama dengan Fossil Free dan 350id.
Cheria menerangkan mengenai apa
itu perubahan iklim. Perubahan Iklim
terjadi karena pemanasan global akibat dari aktivitas manusia. Secara global,
terjadi peningkatan suhu yang tinggi dari tahun ke tahun sejak 1980. Dampak
perubahan iklim menyentuh segala aspek kehidupan manusia, seperti: Efek Rumah
Kaca, penurunan produktivitas pertanian, penurunan kualitas dan kuantitias air,
deforestasi, peningkatan wabah penyakit, penurunan permukaan tanah.
Cheria menceriterakan mengenai
Kiribati. Kiribati merupakan negara kepulauan yang diprediksi akan tenggelam karena naiknya
permukaan air laut disebabkan perubahan iklim.
Sholih, Koordinator SAPDA
Yogyakarta menjelaskan benang merah antara difabel dan dampak perubahan iklim.
Ia seorang difabel low vision yang menderita katarak konginental (bawaan dari
lahir). Sholih menyampaikan bahwa difabel mengalami kerentanan baik secara
internal dan eksternal ketika terjadi bencana maupun dampak perubahan iklim.
Secara internal, difabel kesulitan untuk mengakses informasi dan bantuan
mengenai bencana atau dampak perubahan iklim. Selain itu, kurangnya aksesibilitas
difabel ke dan di lokasi pengungsian.
Cheria menambahkan bahwa
perubahan iklim menyebabkan dampak yang berkali lipat kepada difabel daripada
non-difabel dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh Sholih sebelumnya.
Belum lagi kondisi ekstrim perubahan iklim, dapat memperparah kondisi
disabilitas/kerentanannya. Hal yang penting dipahami dan disadari adalah, kemampuan
yang lebih lambat menyesuaikan diri pada kondisi ekstrim perubahan iklim
disebabkan adaptasi yang gradual dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
istirahat dan menyesuaikan diri.
Sholih menggarisbawahi bahwa difabel
belum menjadi prioritas dalam respon dan belum menjadi subyek kebencanaan baik
seraca preventif maupun kuratif. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah difabel
yang sedikit. Karena sedikitnya ini, pemerintah cenderung mengabaikan kebutuhan
difabel dalam penanggualngan bencana,
baik situasi pra, saat, maupun pasca bencana. Bisa dikatakan bahwa difabel sama
sekali tereksklusi dari proses tahapan kebencanaan informasi, standar minimal,
dan fasilitas.
Ada dua solusi yang ditawarkan oleh Sholih untuk
menjadikan difabel sebagai agent of change. Pertama, pentingnya difabel
dilibatkan menjadi sumber informasi utama mengenai apa saja kebutuhan serta
kerentanan yang dihadapi oleh difabel, sebab hanya difabel yang tahu
kebutuhannya, bukan orang lain. Kedua, Komunitas difabel diikutsertakan menjadi
simpul informasi terkait kebencanaan dan dampak perubahan iklim. “Jika pemerintah tidak mampu, buat semacam
perwakilan dari berbagai difabel untuk selanjutnya menyampaikan kepada anggotanya
berupa memberikan penyadaran, pendidikan, dan peningkatan kapasitas kepada
masyarakat terhadap hak-hak difabel dan kelompok rentan dalam situasi bencana
dan dampak perubahan iklim”, tambah Sholih.
Terakhir, Sholih memberikan kutipan bahwa, “Inklusi bukan soal membuat suatu kelompok menjadi spesial atau dianakemaskan, tapi menggunakan tolok ukur tertinggi untuk mempermudah semua orang".
Diskusi dilanjutkan dengan tanya
jawab selama tiga sesi. Sebelum acara selesai, moderator pengumumkan peserta
yang mempunyai pertanyaan terbaik mendapatkan hadiah. Kegiatan diakhiri dengan
berfoto bersama.
0 comments