Terkini di PLD:
Loading...

Film Dokumenter Sejauh Kumelangkah: Cermin Minimnya Akses Pendidikan Inklusi


Film dokumenter Sejauh Kumelangkah adalah film yang menceritakan dinamika remaja pada umumnya. Daya tarik film ini ada pada kisah persahabatan dua orang difabel netra,  Dea dan Salsa. Mereka berupaya menjadi individu yang mandiri, khususnya dalam hal pendidikan. “Kurang lebih perasaan itulah yang kemudian ingin di-capture,” kata Ucu Agustin dalam diskusi bulanan Monthly Coffeebility 5.1 pada Jumat, 19 Februari 2021. Diskusi dan pemutaran film secara daring ini merupakan bagian dari kampanye Indonesia Inklusif oleh Tim Impact Campaign Sejauh Kumelangkah.

Ucu, panggilan akrab penggarap dokumenter ini, mengatakan ketika ia mengambil gambar dan melihat realita yang sesungguhnya, anak-anak difabel terpinggirkan dalam pendidikan. Dalam keterbatasan inilah hadir sosok Dea dan Salsa sebagai difabel yang mampu melakukan advokasi secara mandiri atas hak-hak mereka. Dua tokoh tersebut merupakan individu yang memiliki motivasi tinggi dan tidak ingin selalu bergantung pada keluarganya. Hal tersebut menjadikan mereka terpacu untuk mengembangkan diri. Namun, beberapa akses akademik seperti audiobook maupun teks braille seringkali belum tersedia di perpustakaan. Oleh karena itu, menurut Ucu dalam hal ini negaralah yang harusnya memfasilitasi dan memberi contoh demi terwujudnya pendidikan yang aksesibel bagi semua mahasiswa, termasuk para difabel.

Menurut Abdullah Fikri, aktivis difabel netra, kemandirian semacam itulah yang menjadi modal awal dalam berelasi dengan masyarakat. Melalui kisah Dea dan Salsa, penonton mampu melihat cermin realitas pendidikan bagi difabel, baik di Jakarta maupun di Amerika. Meskipun hal itu sedikit disayangkan oleh Fikri. Sebab realitasnya, masih banyak penyandang difabel netra yang jauh dari akses pendidikan di pelosok Indonesia. Jangkauan yang lebih luas sendiri menurut Fikri dapat menjadi acuan dalam menindaklanjuti kebijakan terkait pendidikan inklusif.

Fikri kemudian melihat hal ini dalam perspektif ekologi sosial, dimana terdapat keterkaitan antara individu difabel, kemampuan interpersonal, stigma masyarakat, organisasi, dan kebijakan. Lingkaran semacam itulah yang digambarkan dalam dokumenter peraih Piala Citra 2019 kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik tersebut. Sudah barang tentu aksesibilitas menjadi aspek utama dalam pendidikan inklusi.“Kalau akses pendidikan disabilitas itu sangat minim atau difabel tidak berpendidikan, bagaimana kemudian mereka menjadi aktor dalam pembangunan masyarakat?” tuturnya.

Di lain sisi, sekolah sebagai lembaga layanan publik harus mampu memberikan aksesibilitas yang layak bagi seluruh kelompok masyarakat, termasuk difabel. Dea digambarkan mengalami kendala ketika akan masuk sekolah karena faktor kenetraan yang disandangnya. Namun, acapkali sekolah baru memberi akomodasi setelah bersinggungan langsung dengan difabel.

Pemenuhan hak ini pun selain kembali pada peran pemimpin juga dari inisiatif difabel sendiri dalam melakukan self-advocacy, yaitu membangun kesadaran dalam menyuarakan kebutuhan sendiri. “Karena saya percaya disabilitas sesungguhnya adalah ketidakpedulian, bukan masalah fisik dan keutuhan tubuh,” imbuh Ucu.

Dukungan dari berbagai pihak, lebih-lebih dari keluarga menjadi hal penting bagi difabel untuk berkembang secara mandiri. Fikri memantik sesi diskusi tanya-jawab dengan menanyakan ulang bagaimana potret sebenarnya dari akses pendidikan difabel di daerah. Keterjangkauan dari segi biaya, kondisi lingkungan hingga geografis masih menjadi tugas bersama untuk mewujudkan Indonesia inklusif.

Senada dengan itu, Ucu memberi catatan dari proses produksi film bahwa apa yang didapat Dea ketika menetap di Virginia adalah kesempatan. Berbeda dengan Salsa, Dea lebih banyak mendapat kesempatan untuk menjadi individu mandiri sama seperti yang lain. Dari sana, Ucu mendorong semua pihak, termasuk keluarga dan institusi pendidikan untuk percaya bahwa penyandang difabel bisa hidup mandiri dan beradaptasi. “Caranya adalah dengan memberi kesempatan yang sama,” simpulnya menutup sesi diskusi.

(Dina Tri Wijayanti)

Kabar terkait ...

0 comments