education for all,
event,
FORSI,
milad PLD ke-8,
pendidikan inklusif,
PLD UIN Sunan Kalijaga
PLD UIN Sunan Kalijaga Wujudkan Kampus Antidiskriminasi
Suasana Seminar Pendidikan Inklusif |
Hari Sabtu
(02/05) bertepatan dengan hari pendidikan nasional, bertepatan pula dengan hari
lahirnya Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
rangka memeringati Milad PLD ke-8 Forum Sahabat Inklusi (Forsi) UIN Sunan
Kalijaga mengadakan seminar pendidikan yang bertema “From Inclusion to
Education for All,” bertempat di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga.
Pembicara seminar diantaranya Koordinator Pusat Sumber Pendidikan Inklusi
(PSPI) Provinsi DIY Setia Adi Purwanta, M.Pd dan Manajer Program Pendidikan
Inklusi PLD UIN Sunan Kalijaga Jamil Suprihatiningrum, M.Pd, S.i. Dalam paparannya
narasumber Setia Adi menjelaskan mengenai sejarah, pengertian, hingga
pentingnya pendidikan inklusif, sedangkan Jamil lebih banyak menjelaskan
tentang kiprah PLD UIN Sunan Kalijaga dalam mewujudkan kampus inklusif.
Kiprah PLD telah berjalan cukup
lama, dari sebuah Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) menjadi Pusat Layanan
Difabel yang diakui secara struktural oleh universitas. Berkat kegigihan para
pengurus, relawan bersama mahasiswa difabel, UIN Sunan Kalijaga berhasil
menyabet penghargaan Inclussive Education Award tahun 2013. PLD memfasilitasi
UIN Sunan Kalijaga menjadi sebuah kampus inklusif yang menghargai serta
mengakomodir kebutuhan mahasiswa berdasarkan potensi dan perbedaan yang mereka
miliki, khususnya bagi mahasiswa difabel. Pernyataan itu disampaikan oleh
narasumber Jamil Suprihatiningrum.
Setia
Adi menjelaskan konsep Education for All
lahir dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial ekonomi dunia, sehingga kaum
miskin, anak jalanan, kaum minoritas, difabel, dan mereka yang terpinggirkan
tidak mendapatkan akses hak pendidikan. Persoalan tersebut direspon dalam
bentuk konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jongtien, Thailand
tahun 1990, yang menghasilkan Deklarasi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua. Hasil
evaluasi tahun kelima pasca deklarasi masih menunjukkan capaian tingkat
aksesibilitas perolehan hak pendidikan bagi kelompok rentan/ marginal masih
rendah. Kemudian para pemerhati pendidikan khusus mengadakan pertemuan di
Salamanca (1994) dan hasilnya berupa pernyataan dorongan kepada negara peserta
untuk melaksanakan sistem pendidikan inklusif.
Pendidikan
inklusif adalah sistem pendidikan yang menyertakan dan memberikan peran kepada
semua peserta didik dalam satu iklim dan proses pembelajaran bersama tanpa
membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik, agama/ kepercayaan,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik maupun mental, serta latar belakang
kehidupan lainnya, sehingga lembaga pendidikan bagaikan sebuah miniatur
masyarakat.
Pengertian
pendidikan inklusif tidak boleh direduksi hanya sebagai model pendidikan yang
membarengkan peserta didik difabel dengan peserta didik non difabel untuk
belajar bersama-sama di sekolah reguler saja. Reduksi pemahaman berimplikasi
pada pembatasan peserta didik difabel oleh sekolah inklusi, yakni hanya
menerima anak difabel yang dapat mengikuti sistem pembelajaran yang berlaku
bagi peserta didik nondifabel. Dalam pendidikan inklusif sistem pendidikan
disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kebutuhan individu peserta didik, bukan
peserta didik yang harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan. Kesalahan
lainnya yaitu memberikan sebutan siswa difabel sebagai siswa inklusif. Padahal
semua siswa adalah inklusif, karena mereka memiliki kondisi, kebutuhan dan
potensi yang berbeda-beda.
Setia
Adi berpendapat hambatan pokok pelaksaan pendidikan inklusif di Indonesia yakni
munculnya ideologi kapitalisme liberal menjadikan pendidikan nasional
sebagai sistem penanaman investasi
pembentukan manusia sebagai instrumen industrialisasi yang menguntungkan
pemilik modal. Peserta didik hanya digenjot dengan pengetahuan dan teknologi
sehingga mengabaikan aspek pembangunan karakter dan kepribadian mereka. Kuatnya
proses komersialisasi pendidikan memengaruhi kebijakan pemerintah atas
pelaksanaan pendidikan inklusif dari pusat hingga daerah, sehingga pelaksanaannya
masih terkesan setengah hati dan kurang serius. Kuatnya hegemoni dan proses
pasar bebas di bidang pendidikan membuat tebalnya keyakinan masyarakat bahwa
pendidikan merupakan cara yang tepat agar anak dapat dipertaruhkan untuk
dijadikan investasi ekonomi di masa depan, sehingga pendidikan harus bersifat
kompetitif dan menolak pelaksanaan pendidikan inklusif yang bersifat
kooperatif.
Pendidikan
sebagai jalan strategis untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagai individu,
masyarakat, bangsa dan negara. Lembaga pendidikan ibarat sebuah taman dengan
peserta didik sebagai bunga yang beraneka ragam, dan sistem pendidikan
merupakan cara pemeliharaan agar tiap-tiap bunga dapat tumbuh dan berkembang
dengan masing-masing keunikannya. “Pendidikan harus menjadi taman bagi siswa,”
tutup Setia Adi (Iis).
0 comments