Jiwanya tegar meski rintangan terus menemani langkahnya. Itulah sosok Rikha Ramadhania. Perempuan kelahiran Yogyakarta 1995 ini mengalami hambatan dalam mobilitasnya sehari-hari. Kedua telapak kakikanya memiliki syaraf yang lemah. Kaki kanannya lebih lemah hingga tak mampu menopang tubuh kecilnya. Kerja lututnya pun menjadi semakin bertambah berat. “Aku selalu berdo’a agar lututku kuat,”ucapnya.
Kelainan pada kakinya diketahui pada usia 9 bulan. Terlihat dari perkembangan kakinya yang tak seperti anak-anak pada umumnya. Usia 1 tahun, Rikha masih belum bisa berdiri. Melihat keganjilan yang terjadi pada putrinya, orangtua Rikha membawanya ke rumah sakit untuk melakukan chek dan terapi. Pada awalnya Rikha menjalani terapi di 3 rumah sakit di Yogyakarta. Setelah beberapa tahun, dokter mengatakan terapi yang dilakukan Rikha sudah cukup. Kemudian Rikha direkomendasikan untuk meminum obat penguat saraf secara rutin. Obat penguat saraf itu harus dikonsumsi Rikha sampai usianya memasuki sekolah dasar. “Akhirnya aku hanya terapi di rumah dengan menggunakan bambu berkaki 4 untuk melatih kakiku berjalan,” kenang Rikha.
Memasuki usia 12 tahun, Rikha kembali melakukan pemeriksaan di salah satu Rumah Sakit di Solo. Hasilnya, Rikha disarankan untuk memakai sepatu khusus yang dirancang agar dapat menguatkan telapak kakinya. Namun, Sepatu itu justru membuat Rikha kesulitan dalam berjalan. Hal ini pun yang membuat Rikha tidak bisa memakai sepatu itu lebih dari setahun. “Sepatu khusus itu tidak mudah dipakai dan dan tak mudiah dilepaskan. Bikin nggak nyaman,” ungkap Rikha.
Tetapi, hambatan yang dialaminya bukan menjadi alasan untuk tidak menimba ilmu di sekolah umum. Meskipun ia tahu akan mengahadapi banyak tantangan. Seperti ketika mata pelajaran olahraga di sekolah. Sejak dibangku SD hingga SMA, Rikha mendapat banyak keringanan dalam mata pelajaran tersebut. Ketika teman-temannya berolahraga, Rikha diminta untuk tetap hadir di lapangan. Untuk mendapatkan nilai olahraga, biasanya Rikha diminta oleh guru untuk membuat tugas tertentu yang berkaitan dengan olahraga.
Namun ada juga guru yang tetap mengharuskan Rikha mengelilingi sekolah sebanyak 5 kali sebagai pengganti ujian praktek olahraga. “Aku sudah berusaha untuk memenuhi permintaan beliau, namun apa daya. Aku hanya sanggup melakukannya 3 kali putaran. Itu pun kaki rasanya sudah sakit banget untuk jalan,” kisahnya.
Saat ini Rikha tengah menempuh pendidikan S1 di Fakultas Tarbiah, UIN Sunan Kalijaga dengan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah (PGMI). Jurusan yang membawanya pada sebuah cita-cita luhur yaitu mampu mendirikan sekolah bagi mereka yang tak mampu. Rikha terinspirasi dengan seorang perempuan difabel tunadaksa, yang sukses membangun sekolah bagi anak-anak kurang mampu. “Perempuan itu awalnya tidak diterima kerja dimana-mana. Terus dengan dukungan suaminya, Ia membangun sekolah gratis. Aku lihat kisahnya di TV tapi Aku lupa siapa namanya,”jelasnya.
Untuk mobilitas setiap hari dari rumah ke kampus, Rikha mengendarai sendiri sepeda motor yang dimodifikasi beroda tiga. Tak jarang ketika diperjalanan banyak mata yang memandang aneh. Tapi Rikha tak memperdulikan hal tersebut. Rikha ingin membuktikan bahwa Ia mampu mandiri kendati memiliki keterbatasan.
Berbagai hambatan dan rintangan yang dialaminya, membuat Rikha lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Dengan keahliannya dalam memahami bahasa isyarat Tuli, ia selalu berusaha menjadi penerjemah bahasa isyarat yang baik untuk teman-teman yang memiliki keterbatasan pendengaran ini. Kedua kakinya memang memiliki hambatan tapi tidak dengan kedua tangan dan pendengarannya. Rikha dengan lincah menggerakan tangannya dan membentuk makna-makna yang dipahami teman-teman Tuli. Karena itu Rikha sering kali diminta untuk menjadi interpreter mereka.
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Aku ingin telinga dan tanganku ini bisa membantu teman-teman Tuli dalam segala hal,”tegasnya. Lingkungan yang tak ramah
Aksesibilitas adalah kunci kenyamanan bagi Rikha dalam menempuh pendidikannya. Sayangnya, hal tersebut belum sepenuhnya dirasakan Rikha. Seperti tempat parkir yang jauh, ruang kelas yang berada di lantai 4, serta layanan kampus lain yang membutuhkan tenaga ekstra. Hal itulah yang menjadi hambatan Rikha dalam mobilitas. “Aku pernah hampir jatuh saat menaiki tangga. Untunglah ada orang dibelakangku yang menahan tubuhku,” kenang Rikha.
Salah satu tugas dari Pusat Layanan Difabel (PLD) adalah mengadvokasi kepentingan difabel. Setiap awal semester PLD memberikan surat pemberitahuan kepada dosen pengampu mata kuliah yang di dalamnya terdapat mahasiswa difabel. Hal ini bertujuan agar difabel mendapat perlakuan afirmatif. Misalnya, Rikha yang kesulitan dalam mobilitasnya menjadi alasan untuk memindahkan kelas yang semula di lantai 4 pindah ke lantai 1. Sayangnya hal tersebut tidak dapat dilakukan. Karena aturan Fakultas yang sudah baku. “Kalaupun bisa itu di lantai 3. Itu pernah terjadi di semester 3. Tapi ya hanya berjalan ketika itu. Semester depannya lagi tetap di lantai 4,” ungkapnya.
Rikha seringkali kerepotan membawa barang keperluannya di kampus. Seperti ketika mengerjakan tugas di perpustakaan. Ia harus membawa laptop dan buku-buku yang dipinjamnya. Lagi-lagi Rikha hanya menggeleng kepala melihat orang di sekelilingnya begitu acuh melihatnya. “Itulah yang terjadi. Kadang kecerdasan emosional tak selaras dengan kecerdasan intelektualnya,” ungkapnya lagi.
Memperingati Hari Difabel Interasional yang biasa diperingati pada tanggal 3 Desember, Rikha menyampaikan bahwa manusia harus bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita. Dengan hal itu setiap orang dapat menerima ketentuanNya serta tidak lagi merasa malu. “Berharap lingkungan sosial semakin ramah difabel dan layanan kampus dapat aksesibel untuk difabel,” pungkasnya. (faroha)
0 comments