Berita,
Coffeebility,
Events
The First Coffeebility : Menelisik UU Penyandang Disabilitas No 8 tahun 2016
Pembicara memaparkan materi diskusi |
Setelah fakum selama
satu tahun, diskusi bulanan Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga kini
kembali hadir dengan wajah baru, Coffeebility. Acara ini dilaksanakan pada Rabu
(18/01). Bertempat di PLD, Gedung Rektorat Lama lantai 1, dihadiri kurang lebih
30 orang relawan, difabel dan beberapa dosen pengurus PLD.
Ditemani kopi hangat,
diskusi menarik dimulai pukul 9.40 dengan sambutan dari kepala PLD, Dr. Arif
Maftuhin. Beliau menyampaikan bahwa coffeebility akan fokus pada capability
difabel. “Dulu, namanya DisabiliTea yang fokus pada disabilitas. Sekarang kita
coba fokus dengan capability atau kapasitas yang lebih luas dari ability. Cofeebility
akan hadir setiap bulan dengan tema yang berbeda dan narasumber yang berkaitan
dengan dunia disabilitas. Misalnya kerjabilitas,”papar Arif.
Diskusi kali ini
mengambil tema dari tesis pembicara, Sofiana Millati, yaitu “Mengkritisi
Paradigma UU. NO. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Quo vadis Difabel?” Sofiana
adalah relawan baru PLD yang juga fresh graduate dari The University of
Sheffield, Inggris. Sebagai pembuka, Ia menjelaskan definisi peyandang
disabilitas dari uu no 8 tahun 2016. Kemudian Sofi membandingkan dengan
definisi uu penyandang cacat no 4 tahun 1997. Setelah itu barulah Sofi
memaparkan macam-macam paradigma dalam memandang penyandang disabilitas. “Medical
model memandang bahwa penyandang disabilitas sebagai impairment atau kerusakan individu yang kemudian harus diobati agar
menjadi normal. Paradigma ini dikritisi oleh paradigma social model yang
memandang bahwa yang rusak bukan individunya. Tetapi lingkungan sosial yang
tidak bisa mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas,” terang Sofi.
Di sela-sela presentasinya,
Sofi mengajak diskusi teman-teman untuk memberi contoh implikasi dari setiap
paradigma. Seperti social model yang melahirkan percetakan buku braile. Selain
dua paradigma itu, Sofi menjelaskan mengenai paradigma social relational model,
yang merupakan gabungan dari medical model dan social model, dan yang terakhir
cultural model. “Di Indonesia, terutama pulau jawa, cultural model menjadi
paradigma yang yang banyak dianut masyarakat,” jelasnya.
Lia, mahasiswa Tuli,
mengatakan bahwa ia pernah mengalami impilikasi dari paradigma cultural model. “Dulu,
aku pernah dibawa ke Kyai dan diberi air untuk dipercikan kepada ku,”ungkapnya
dalam bahasa isyarat.
Diskusi semakin memanas
saat mengerucut pada hak penyandang disabilitas dalam hal pendidikan. Di dalam
uu no. 8 tahun 2016 pasal 10 tertera
dengan jelas bahwa penyandang disabilitas mendapatkan hak pendidikan yang
bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
secara inklusif dan khusus. “Ada pendidikan inklusif dan ada pendidikan khusus.
Ada perbedaan disini. Apakah sebaiknya difabel belajar di pendidikan khusus,
dalam hal ini SLB, atau pendidikan inklusif ?,” tanya Sofi sebagai pemantik
diskusi.
Berbagai komentar datang
dari beberapa difabel yang pernah bersekolah di pendidikan khusus dan pendidikan
inklusif. Seperti Prima dan Irma, keduanya memiliki keterbatasan dalam
penglihatan. Mereka mepakat mengatakan bahwa pendidikan khusus masih dibutukan
sebagai tempat untuk melatih kemandirian dan belajar akses yang bisa menjadi
alat untuk belajar di pendidikan inklusif. Seperti belajar menulis braile untuk
tunanetra dan bahasa isyarat untuk Tuli. Ada juga relawan yang memaparkan bahwa
pendidikan khusus pada praktiknya belum bisa menjembatani siswa-siswinya menuju
pendidikan inklusi karena berbagai alasan.
Perbicangan ini tak ada
habisnya hingga menuai banyak komentar dari teman-teman yang hadir. Ide-ide
inklusif menyebar di sudut-sudut ruangan. Diskusi juga mengungkit pembahasan kurikulum pendidikan yang belum inklusif. Sayangnya waktu tak lagi
dapat dikompromi. Jam sudah menunjukkan pukul 11.10. Pembicara menutup diskusi
dengan komentarnya yang merasa puas dengan adanya diskusi menarik ini dan
memberikan pesan pada teman-teman. “ide-ide inklusif ini harus disebarkan ke
masyarakat luas agar mereka juga memahami pendidikan inklusi,”tandasnya.
(faroha)
Usai diskusi dilanjutkan dengan foto bersama |
0 comments