Sesi pertama |
Sesuai dengan jadwal, hari ini relawan PLD akan mendapatkan dua materi. Pertama, materi mengenai pendampingan kuliah untuk Difabel yang dipaparkan oleh Astri Hanjarwati, MA. Kemudian dilanjutkan oleh mantan kepala PLD, Ro’fah Ph.D yang menyampaikan materi mengenai Diskursus Disabilitas. Keduanya adalah dosen UIN Sunan Kalijaga yang tetap eksis sebagai relawan di PLD.
Pada sesi pertama, relawan yang hadir sekitar 51 peserta ini dibagi menjadi beberapa kelompok. Setelah itu mereka mendiskusikan mengenai pendampingan teman-teman Difabel di kampus. Hasil diskusi perkelompok ditulis dalam bagan dan ditempelkan pada dinding ruangan. Setelah itu perwakilan dari setiap kelompok memaparkan hasil diskusinya. Salah satu relawan yang berasal dari prodi Sastra Inggris, Aan, mengatakan bahwa pendampingan terhadap Tuli salah satunya adalah ketika mengerjakan tugas-tugas kuliah. “Bagi teman-teman Tuli biasanya pembendaharaan kosa kata sangat minim. Karena itu kita sebagai relawan menjelaskan kosa kata yang asing. Seperti istilah dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris,”jelasnya.
Dalam pendampingan Tuli, PLD memberikan pelayanan Notetaker. Yaitu seseorang yang bertugas mencatat materi yang disampaikan oleh Dosen di kelas. “Perlu diingat bahwa Notetaker hanya bersifat membantu. Difabel Tuli tetap memperhatikan apa yang dijelaskan Dosen dan menuliskan apa yang Ia pahami. Setelah perkuliahan selesai hasil catatan Difabel Tuli dan Notetaker digabungkan. Hal tersebut dilakukan untuk melatih kemandirian Difabel,” ujar Astri.
Diskusi menyebar hingga pendampingan pada setiap Difabel yang berbeda-beda. Mengenali hambatan dan tantangan yang dihadapi agar dapat melalui perkuliahan dengan lancar. Seperti orientasi mobilitas di kampus bagi Difabel Netra.
Beranjak pada sesi yang kedua megenai diskursus disabilitas. Pada sesi ini relawan diajak untuk flashback mengenal istilah Difabel pada zaman dulu hingga zaman modern saat ini. Persepektif dulu memandang Difabel sebagai individu yang bermasalah. Kemudian seiring berkembangnya ideologi, pusat permasalahan Difabel bukan lagi pada individu. Tetapi pada lingkungan sosial yang tidak dapat memahami kebutuhan Difabel untuk mendapatkan hak-haknya. “Lingkungan sosial inilah yang menyebabkan mereka menjadi Difabel. Maka perlu adanya pembangunan lingkungan sosial yang memikirkan aksesibilitas bagi Difabel,” Ungkap salah satu pendiri PLD ini.
Dosen pasca sarjana ini juga menjelaskan mengenai pespektif masyarakat yang masih memberikan stigma negatif terhadap Difabel. Salah satu tujuan PLD adalah merubah perspektif negatif tersebut. Melalui relawan PLD ilmu pengetahuan tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat. “Kita memandang Difabel sebagai sosok manusia yang memiliki hak-hak yang sama seperti kita. Ketika memandang seorang Difabel yang memiliki prestasi itu adalah suatu kelebihan mereka. Kita menerima mereka bukan karena kehebatan mereka. Tapi karena mereka adalah manusia,” tandasnya.
Masih terdapat tiga materi lagi yang akan disampaikan di pertemuan selanjutnya. Yaitu "Etika Pendampingan Difabel" oleh Andayani, MSW, "Mandat dan Peran Relawan" oleh Siti Aminah, M.Si dan "Pemberdayaan dan Advokasi" oleh Muhrisun MSW. Semua kegiatan tersebut diharapkan dapat mengikat hati relawan baru untuk lebih dekat dengan PLD. “Tahun yang lalu banyak mahasiswa yang mendaftar sebagai relawan. Namun menghilang seiring berjalannya waktu. Semoga dengan adanya kegiatan ini para relawan dapat istiqomah dalam membantu Difabel dan PLD,” tutur Kepala PLD. (faroha)
Salah satu relawan memaparkan hasil diskusinya |
Bu Ro'fah mendampingi sesi kedua |
0 comments