education for all,
featured,
Info Layanan,
Inklusi,
PLD UIN Sunan Kalijaga
FGD Kelas Inklusif di FUPI
Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga berkomitmen untuk senantiasa menyebarkan ide pendidikan inklusif di UIN Sunan Kalijaga. Meskipun sudah lebih dari 10 tahun menempuh 'jalur' pendidikan inklusif, bukan berarti ide, filosofi, dan implementasi pendidikan inklusif terserap oleh semua pihak di UIN. Karenanya, PLD secara berakala menyelenggarakan berbagai kegiatan untuik meningkatkan awarness pendidikan inklusif bagi warga kampus. Contohnya, hari ini (19/3/2019), PLD mengunjungi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) untuk menyelenggarakan diskusi pendidikan inklusif.
Acara yang dihadiri lebih dari 40 orang peserta yang terdiri atas dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa difabel, dan relawan PLD ini diselenggarakan di ruang rapat FUPI dan dipimpin oleh Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Fahrudin Faiz. Menurut Kepala PLD, silaturahim kali ini adalah kesempatannya untuk " menyampaikan semacam laporan pertanggungjawaban saya sebagai kepala PLD. Saya sudah bekerja hampir empat tahun dan inilah perkembangan PLD sekarang. Penting untuk kami bagikan apa yang telah kami lakukan, apa tanggapan difabel terhadap layanan kami, dan bagaimana proses belajar mengajar di UIN dapat mewujudkan lingkungan yang inklusif."
Dalam kesempatan itu, acara dibuka dengan menyajikan data riset mini terkait layanan difabel dan proses belajar mengajar di kelas. Menurut hasil penelitian, hanya 75% dosen yang menyediakan bahan ajar yang bisa diakses oleh mahasiswa. "Bisa diakses itu artinya dua: bisa diakses oleh seluruh mahasiswa karena barangnya (bukunya) ada. Atau, bisa diakses artinya bisa diakses oleh difabel."
Hasil penelitian PLD menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa, apalagi difabel, merasa bahwa proses belajar mengajar di kelas dianggap terlalu cepat. Dosen mungkin perlu mengurangi kecepatan dan bersikap bijak mengejar target pembelajaran. Jika dosen bisa memenuhi keluhan mahasiswa ini, tentu mahasiswa difabel juga akan ikut memetik manfaatnya.
Diskusi berlangsung hangat karena ternyata filosofi pendidikan inklusif sebagai model pendidikan yang berpihak kepada hak asasi manusia sering berbenturan dengan pandangan pendidikan yang serba standar. "Difabel itu kemampuannya di bawah rata-rata, dia tidak bisa mengikuti kuliah seusai dengan rata-rata..." ujar salah seorang dosen. "Dosen, karena itu, diharuskan bekerja ekstra keras untuk mengajarnya."
Bagi kepala PLD, "Jika ada difabel yang (jika benar) berkemampuan di bawah rata-rata dan ia gagal di ujian akhir kelas, maka akan adil kalau dosen juga bertanya kepada dirinya sendiri: apa yang sudah ia lakukan selama ini agar difabel di kelasnya berhasil?"
Pendidikan inklusif memang tidak mudah sebab ia adalah model "pendidikan perjuangan". "Berbeda dengan pendidikan mainstream, misi pendidikan inklusif adalah menggandeng yang tertinggal, menjemput yang tercecer, dan mendengar yang terabaikan. Pendidikan inklusif bukan pendidikan kejar target dan setoran!"
0 comments