Terkini di PLD:
Loading...

Wirausaha dan Difabel

Maria Muslimatun di tengah-tengah Peserta Diskusi

Wirausaha (Entrepreneurship) merupakan jenis pekerjaan yang menjanjikan bagi setiap orang yang berniat untuk menggelutinya, tidak terkecuali bagi difabel. Menjadi seorang wirausahawan difabel membuktikan bahwa difabel itu mandiri jika diberi akses dan dukungan. Oleh karena itu, Rabu (27/03/2019), PLD mengundang Maria Muslimatun untuk berbagi kisahnya menjadi seorang wirausahawan yang bergerak dalam bidang jasa. Maria merupakan seorang notaris publik yang berkantor di Jl. Kaliurang km. 17 Pakem Sleman Yogyakarta. Monthly Coffeebility bertema “Wirausaha oleh Difabel” dimoderasi oleh Husnil Khatimah Nst dan Astri Hanjarwati memberikan sambutan mewakili Ketua PLD.

Meskipun pemerintah telah menetapkan peraturan mempekerjakan difabel sebanyak 1-2% dari total pegawai, belum banyak instansi/lembaga yang benar-benar melaksanakannya. Kalaupun ada, instansi tersebut memberikan syarat tertentu dengan berbagai kemampuan/kapabilitas. Apalagi, terkadang kantor atau tempat kerja (workplace) mereka belum aksesibel. Hal tersebut membuat difabel berpikir ulang sebelum akhirnya melamar pekerjaan. Di sinilah menurut Maria, difabel bisa berdikari dengan merintis usaha.

Dukungan (support system) harus selalu mengelilingi difabel yang merintis usahanya, bahkan jauh sebelum itu. Bagi Maria, keluarga merupakan pendukung utama dan pertama. Keluarga berperan untuk membantu seorang difabel menerima keadaanya yang berbeda dengan orang lain. Selain itu, keluarga dapat menjadi penghubung interaksi difabel dan lingkungan sekitar. Maria menceriterakan seorang difabel yang pernah pingsan ketika pertama kali berbelanja di pasar sebab ia tidak pernah keluar sebelumnya. Di sini, keluarga menjadi pembentuk kepercayaan diri difabel untuk sadar akan potensi dan bakat yang dimiliki.

Setelah keluarga diharapkan lembaga pendidikan, instansi pemerintah, lembaga perbankan, dan masyarakat turut mendukung usaha seorang difabel. Ia menuturkan harus ada aksi resiprokal antar lembaga-lembaga tersebut sehingga usaha difabel dapat terwujud.

Maria menuturkan kisahnya membangun kemandirian. Ia merupakan lulusan Magister Hukum Kenotariatan di UGM. Ia mempunyai kantor dan mempekerjakan beberapa karyawan. Menurut Maria, bidang wirausaha sangat banyak dan tidak terbatas. Difabel bisa merintis usaha di bidang kuliner, kerajinan tangan, dan bisnis online di era teknologi 4.0.

Selanjutnya, Maria memberikan tips terkait dengan mengumpukan modal. “Selama ini, uang seringkali dijadikan modal utama untuk memulai usaha, padahal bagi saya niat dan motivasi merupakan hal yang paling penting”, tutur Maria. Maria menjelaskan bahwa niat motivasi merupakan modal yang tidak ternilai harganya. Dengan niat yang baik dan motivasi yang tidak pernah surut segala suka dan duka dunia usaha bisa dijalani dengan baik. Setelah itu, ilmu dan pendidikan adalah modal yang harus dimiliki. Ilmu ini dapat diperoleh dari mana saja serta siapa saja. Ilmu ini tidak terbatas hanya diperoleh dari lembaga pendidikan formal akan tetapi bisa didapat dari mengikuti berbagai pelatihan dan kursus. Kuncinya, kita harus semangat mencari tahu informasi yang bertebaran di internet. Ilmu yang didukung keterampilan akan membawa kebaikan bagi wirausahawan. Setelah itu disusul uang dan sikap/kepribadian.

Maria menutup diskusinya dengan sebuah penyataan “Kalau saat ini masih ada orang yang meremehkan difabel dan menganggap difabel hanya sebagai beban yang memberatkan, mereka pasti golongan “kudet”.

Setelah Maria menyampaikan diskusi, bergantian relawan dan difabel menceriterakan pengalaman dan kegelisahan mereka mengenai dunia usaha kedepannya. Tidak terasa 2 jam dihabiskan untuk acara diskusi kali ini. Diskusi kali ini yang dihadiri oleh 48 orang berlangsung dengan lancar dan tidak lupa sesi berfoto bersama di akhir acara.




Kabar terkait ...

0 comments