Terkini di PLD:
Loading...
,

Mengakrabkan Dunia Difabel

Oleh: Iis Ernawati
Outbond Untuk Para Tunanetra di PLD
 
Suatu ketika saya bercerita pada teman-teman tentang rencana saya untuk melakukan penelitian tentang para difabel netra (tunanetra) yang aktif menggunakan jejaring sosial Facebook. Dari teman hingga dosen menanggapi dengan respon yang hampir sama, “Mereka bisa? Nggak bisa lihat ngapain facebook-an?” tanya mereka heran sekaligus penasaran.

Terkadang apa yang dikerjakan seorang difabel masih menjadi sesuatu yang asing oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang jarang berinteraksi dengannya. Sebagian masih belum mengetahui jika difabel pun bisa melakukan aktivitas layaknya non-difabel. Apa yang terjadi di antara keduanya seperti masih ada sebuah garis pembatas yang dinamakan gap. Orang melihat dari perbedaan fisik, bukan dari kemampuan yang mereka miliki.

Stereotip negatif seperti ini yang pertama-tama harus dirubah oleh oleh seseorang terhadap difabel. Letakkan mereka setara – sama seperti non-difabel lainnya. Keadaan ini jadi mengingatkan saya pada sebuah penggalan esai Eldo Herbadella yang berbunyi Mereka tersisih dari interaksi masyarakat karena dianggap tidak mampu melakukan apa yang dapat dilakukan oleh orang normal.

Dengan jumlah yang mencapai jutaan sudah saatnya masyarakat bersama pemerintah memberi ruang gerak bagi difabel. Berdasarkan data dari Program Perlindungan Sosial Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah difabel mengalami peningkatan, tahun 2009 terdapat 2,1 juta difabel dan tahun 2012 menjadi 3,84 juta. Difabel menjadi salah satu Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus digali potensinya.

Contoh difabel yang telah tergali potensinya adalah Dimas Prasetya Muharam, bersama dengan teman-temannya mendirikan portal kartunet.or.id. Portal ini mampu menjembatani informasi serta ide gagasan difabel dengan pembaca. Sehingga masyarakat luas dapat mengetahui apa yang menjadi pemikiran seorang difabel dan seluk beluk difabilitas.

Selain itu ada Angkie Yudistia, perempuan difabel rungu (tunarungu) yang pernah menjadi finalis Abang None Jakarta tahun 2008 sekaligus pendiri yayasan Thisable Enterprise yang bertujuan untuk membantu para difabel rungu lainnya.

Penggunaan istilah difabel yang digagas oleh para aktivis di Yogyakarta sekitar tahun 1998 yang berusaha menghilangkan makna negatif dari kecacatan. Sehingga difabel dapat melakukan kegiatan dalam masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Adanya pemaknaan ini diharapkan masyarakat dapat melihat seseorang berdasarkan kemampuan yang mereka miliki, bukan dari keterbatasannya.

Untuk menumbuhkan kesadaran ini dibutuhkan kontribusi dari berbagai pihak agar kemampuan difabel dapat diterima masyarakat Indonesia. Agar para difabel tidak lagi menjadi kelompok yang terasing, tetapi mampu membaur dengan masyarakat lainnya. Kontribusi tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat, media massa dan pemerintah.

Pertama, kesadaran masyarakat (lingkungan sekitar) agar memberikan kepercayaannya kepada para difabel. Dengan cara membimbing serta menyemangati mereka agar dapat mandiri, melakukan apa yang menjadi minatnya, memberikan peluang kerja, juga apabila memungkinkan menyekolahkan anak-anak difabel ke sekolah inklusif. Belum berguna secara maksimal infrastruktur memadai jika masyarakat sendiri belum menerima keberadaan difabel. Membatasi aksesibilitas dalam meraih hak-hak difabel sama halnya membuat mereka menjadi benar-benar “cacat.”

Kedua, peran serta media massa dalam membantu transfer informasi, mengedukasi masyarakat tentang hak-hak difabel, memberitakan prestasi-prestasi serta kemampuan yang mereka miliki. Media massa membantu para difabel melalui kampanye-kampanye, pemuatan artikel, dan transfer pengetahuan mengenai difabel. Dengan begitu lambat laun masyarakat akan terbiasa dengan keberadaan difabel dan tidak merasa “aneh” lagi. Kekuatan media massa mampu membantu membumikan para difabel di Indonesia. Jangan sampai teman-teman difabel ini menjadi terasing di negerinya sendiri.

Ketiga, pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki pijakan hukum terkait hak-hak penyandang difabilitas. Ditandai dengan diratifikasinya Hak penyandang Disabilitas PBB (UNCPRD) oleh Negara Republik Indonesia (NKRI) dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011. Prinsip-prinsip UNCPRD diantaranya pengakuan terhadap hakekat manusia dengan segala perbedaan dan martabatnya, non-diskriminasi, partisipasi penuh difabel untuk menjadi anggota masyarakat, aksesibilitas, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan penghormatan hak asasi anak.

Di Yogyakarta sendiri sudah ada kebijakan yang mengatur pemenuhan hak dan penyandang disabilitas yang tertera pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2012. Berbagai kebijakan terkait difabel ini diharapkan tidak hanya mandeg di jalan saja, tetapi juga diimplementasikan secara nyata. Langkah awal dengan menyosialisasikan kebijakan ini kepada lembaga pendidikan, instansi pemerintahan, pihak swasta dan juga kepada masyarakat luas. Setelah melakukan sosialisasi disertai dukungan materiil, pemerintah tinggal melakukan evaluasi berdasarkan undang-undang telah digulirkannya.

Yogyakarta, 13 Desember 2014
http://silakandibuka.blogspot.com/2014/12/membumikan-difabel-di-indonesia.html

Kabar terkait ...

0 comments