Masalah Difabel,
Tentang Inklusi
Kisah Aksesibillitas
Jika Anda berkunjung ke kampus timur UIN Sunan Kalijaga hari ini (15/12/2014), Anda akan menemukan spanduk biru terpampang di depan kantor rektorat lama dan di depan Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu bentuk sosialisasi 'pembebasan' area depan rektorat lama hingga perpustakaan dari parkir. Apa yang 'mengusik' saya dari spanduk itu adalah "akses difabel".
PARKIR ITU MASALAH SEMUA ORANG
Pada dasarnya masalah parkir yang tidak tertib adalah masalah semua orang. Saya bukan difabel. Kadang saya membawa motor, kadang saya membawa mobil ke kampus. Ketika saya membawa motor dan parkir di tempat parkir (belakang panggung demokrasi) seringkali motor saya tidak bisa keluar karena di jalur lintas antar slot parkir seringkali dipenuhi sepeda motor.
Saya pernah tanya ke mahasiswa saya yang parkir depan motor saya, "mengapa tidak parkir di tempat yang sudah disediakan?" Ia jawab, "Nanti saya susah keluar Pak." Jadi, ia pilih menyusahkan orang lain (dengan menghalangi motor yang tertib); daripada tertib dan dihalangi motor orang lain.
Demikian juga saat saya bawa mobil. Saya sudah baik-baik parkir di selatan slot panggung demokrasi (sisi selatan), begitu siang saat saya mau keluar, motor sudah mengepung!
Jadi, terlepas dari siapa pun kita, difabel atau bukan, kita punya masalah dengan parkir di kampus.
KISAH DI GAMBAR
Tulisan (di atas motor), tak pernah mempan |
Rambu? Nggak ada gunanya... |
Motor parkir sembarangan (di depan Dakwah), terjebak mobil parkir di jalur difabel), uh gimana keluarnya? |
Untung Bukan Kursi Roda, nerabas taman saja... |
Teman kami Lintang Kirana, punya gambar-gambar juga yang merekam suka dukanya sebagai pengguna kursi roda di UIN.
Karena kita tidak berkursi roda... kita tutup jalannya |
Karena kita butuh tempat parkir terdekat dengan pintu? |
KISAH DIFABEL
Saya tadi hanya bercerita di tempat parkir resmi. Tempat yang seharusnya memang untuk parkir. Anda, yang biasa parkir di bukan tempat parkir, tentu punya cerita sendiri. Apa pengalaman Anda?
Sebagai kepala PLD yang melayani mahasiswa difabel, saya ingin berkisah seidikit: kendaraan Anda sudah berkali-kali tertabrak tunanetra! Sudah berkali-kali knalpot kendaraan itu mengenai mahasiswa tunanetra. Panas? Ya begitulah :(
Anda mungkin tak pernah dengar cerita ini karena Anda sudah di kelas. Anda tak pernah dengar cerita ini karena motor Anda yang mencederai tunantera tidak berbekas. Tetapi bagi para difabel... sakitnya tuh di SINI ... (memang tidak di situ yang punya kendaraan).
Para tunanetra berjalan dengan menghafal lokasi dan posisi. Mana yang aman dan mana yang berbahaya ia ingat-ingat. Kalau Anda parkir di sembarang tempat, maka tunanetra tak bisa menghafal lokasi itu. Kemarin ia lewat di situ aman, sekarang sudah ada knalpot panas yang siap melukainya.
NYAMAN UNTUK DIFABEL, NYAMAN UNTUK SEMUA
Aksesibilitas didefinisikan sebagai keramahan sebuah lokasi untuk dijangkau. Lokasi yang aksesibel sesungguhnya tidak hanya nyaman bagi difabel.
Kalau ada gedung bertingkat, kita pun biasanya memilih lift/escalator daripada naik tangga. Kalau ada ram (jalur kursi roda) di samping undakan, seperti di kantor rektorat lama, saya lihat orang juga lebih suka mengakses lewat ram. Artinya, secara naluri kita memilih untuk 'nyaman' dan menyukai 'kenyamanan'.
Oleh sebab itu, jika kita berusaha mewujudkan kampus yang aksesibel, yang ramah bagi difabel, sesungguhnya kita juga tengah berusaha membuat kampus yang nyaman bagi semua orang.
Kalau kelak kita bisa membuat kampus kita bisa mempunyai jalan yang nyaman dilalui kursi roda dari satu gedung ke gedung lain, saya yakin jalur nyaman kursi roda itu juga akan nyaman bagi kita semua.
Jadi, meskipun tulisan di spanduk itu "akses difabel" maka sesungguhnya kami sedang mengupayakan kenyamanan bagi semua orang. Tentu karena targentnya adalah 'semua orang' akan ada segelintir orang yang menjadi tidak nyaman karena kebiasaan parkirnya yang dulu. Saya mohon maaf kepada Anda dan berterimakasih atas pengorbanannya.
CATATAN KE DEPAN
Saya berharap, penataan ini hanya permulaan saja. Beberapa hal berikut harus segera dilakukan oleh UIN agar cita-cita "nyaman bagi semua orang" itu terwujud:
1. Bagi dosen sepuh yang keberatan jalan jauh, mereka adalah 'difabel', dan karena itu mereka termasuk golongan yang memperoleh akomodasi aksesibilitas. Nanti PLD atau Kamtib UIN menyediakan sticker seperti dalam gambar berikut
2. Perlunya trotoar aksesibel yang ramah bagi semua orang. Bisa dilewati oleh kursi roda, diberi atap agar tidak kehujanan, dan diberi guiding block bagi tunanetra. Kita tidak bisa cuci tangan dengan meminta orang parkir jauh dari gedung tanpa memberi fasilitas nyaman untuk mereka berjalan.
3. Nomor tiga dan seterusnya, kami tunggu masukan Anda untuk perbaikan ke depan.
0 comments