Kolom Relawan
Jadilah Tunanetra
Dunia berubah 180' saat kau mencoba menjadi tunanetra |
Jika Anda susah memahami usulan kami untuk ikut menertibkan parkir liar di UIN, sesekali jadilah tunanetra. Anda tidak perlu membutakan diri (ya, semisal membutakan diri dengan pura-pura tidak bisa membaca larangan parkir itu). Tetapi, cukuplah dengan menutup mata Anda sejenak, barang 10 menit saja. Berjalanlah dari Fakultas Dakwah ke masjid kampus. Atau, dari Fakultas Syariah ke Gedung PAU.
Dengan mengalami sendiri sebagai tunanetra, Anda akan berfikir ulang untuk parkir sembarangan. Tanpa mata yang membantu navigasi, Anda akan segara merasakan dunia yang tiba-tiba sepi. Tanpa notifikasi visual, Anda akan segera merasa betapa kosakata tersandung, terbentur, terjerumus, tersesat, tertabrak, menjadi kosakata yang cepat menggantikan 'pagi yang cerah', senyum temanmu, bunga yang mekar, kampus yang megah, hingga satpam yang ramah.
Ketika kecemasan yang berujung pada persoalan mendasar, "apakah aku akan selamat" menguasai benak Anda; maka keluhanmu soal parkir koq jauh, jalan kan capek, atau helmku hilang, menjadi kecil artinya. Takut baju basah karena kehujanan dari tempat parkir, masih bisa membawa payung. Takut helm hilang, masih bisa diamankan, toh Mas Sigit di Dakwah tetap senyum menerima helm-mu. Takut capek, bisa tiduran saja di rumah, nggak usah kuliah.
Jika kau tidak mau menjadi tunanetra sejenak. Apalagi yang bisa kusarankan?
Bertanyalah kepada Bowo, mahasiswa PMI yang kehilangan pengelihatan akibat teman-temannya yang usil. Atau kepada Anaes, mahasiswa Ilmu Hukum yang kehilangan pengelihatan saat berangkat sekolah dan terjatuh dari kendaraan umum yang ditumpanginya. Atau kepada siapa saja yang kau kenal.
Jika tidak, bertanyalah kepada Irma yang menemukan dunia berbeda dari menjadi tunentra. "Allah sudah memberi saya kesempatan untuk melihat dunia dengan mata saya; dengan menjadi tunentra, sekarang Allah memberi saya kesempatan melihat dunia dengan hati saya."
Bagaimana dengan hati Anda? Masih lebih penting kah helm dan mobilmu?
(Arif Maftuhin)
0 comments